Bisnis pasar modern sudah cukup lama memasuki industri retail Indonesia dan dengan cepat memperluas
wilayahnya sampai ke pelosok daerah. Keberadaan mereka banyak menimbulkan pendapat pro-kontra. Bagi
sebagian konsumen pasar modern, keberadaan hypermarket, supermarket dan mini market, memang
memberikan alternatif belanja yang menarik. Selain menawarkan kenyamanan dan kualitas produk, harga yang
mereka pasang juga cukup bersaing bahkan lebih murah dibanding pasar tradisional. Sebaliknya, keadaan
semacam ini jelas membuat risau para retailer kecil. Banyak dari retailer kecil mendapat imbas dari kehadiran
pasar modern seperti hypermarket dengan turunnya pendapatan mereka secara signifikan.
Kondisi ini semakin terasa, setelah dikeluarkannya Keppres No 96/1998 tentang Bidang Usaha yang Tertutup
dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Tertentu Bagi Penanaman Modal. Keberadaan Keppres
ini mengundang masuk retailer asing untuk membuka usahanya di Indonesia. Sampai pertengahan tahun ini
(Kapanlagi.com, 2003) jaringan hypermarket multinasional yang masuk ke Indonesia sudah mencapai 15 gerai.
Kehadiran dua peretail hypermarket, yakni Carrefour (Perancis) dan Giant (Malaysia) sudah menguasai 29,2
persen pasar retail Indonesia. Hingga tahun 2002, 2031 gerai pasar modern nasional hanya membukukan omzet
Rp 33 trilliun, sementara hypermarket asing dengan 15 outlet mampu membukukan Rp 10,88 trilliun.
Masalah persaingan merupakan konsekuensi logis yang timbul dengan hadirnya retailer modern.
Permasalahan timbul ketika retailer modern mulai, memasuki wilayah keberadaan retailer tradisional. Ekspansi
agresif untuk pendirian pusat perbelanjaan modern ini sudah mendapat izin dari Pemerintah Daerah yang
bersangkutan dimana proses pemberian izin oleh aparat setempat tidak dilakukan secara transparan dan sering
berbenturan dengan berbagai kepentingan pribadi didalamnya. Beberapa faktor yang perlu dikaji dalam industri
retail tersebut adalah faktor regulasi, faktor efisiensi produk dan economics of scope, faktor lokasi, faktor
perilaku konsumen termasuk pola selera konsumsi masyarakat serta karakteristik dari produk yang dijual.
Usaha kecil dengan modal terbatas layak untuk mendapatkan perhatian dari KPPU mengingat mereka terbukti
tidak rentan terhadap imbasan krisis multidimensional yang melanda Indonesia sejak 1997. Dari sudut pandang
UUBisnis pasar modern sudah cukup lama memasuki industri retail Indonesia dan dengan cepat memperluas
wilayahnya sampai ke pelosok daerah. Keberadaan mereka banyak menimbulkan pendapat pro-kontra. Bagi
sebagian konsumen pasar modern, keberadaan hypermarket, supermarket dan mini market, memang
memberikan alternatif belanja yang menarik. Selain menawarkan kenyamanan dan kualitas produk, harga yang
mereka pasang juga cukup bersaing bahkan lebih murah dibanding pasar tradisional. Sebaliknya, keadaan
semacam ini jelas membuat risau para retailer kecil. Banyak dari retailer kecil mendapat imbas dari kehadiran
pasar modern seperti hypermarket dengan turunnya pendapatan mereka secara signifikan.
Kondisi ini semakin terasa, setelah dikeluarkannya Keppres No 96/1998 tentang Bidang Usaha yang Tertutup
dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Tertentu Bagi Penanaman Modal. Keberadaan Keppres
ini mengundang masuk retailer asing untuk membuka usahanya di Indonesia. Sampai pertengahan tahun ini
(Kapanlagi.com, 2003) jaringan hypermarket multinasional yang masuk ke Indonesia sudah mencapai 15 gerai.
Kehadiran dua peretail hypermarket, yakni Carrefour (Perancis) dan Giant (Malaysia) sudah menguasai 29,2
persen pasar retail Indonesia. Hingga tahun 2002, 2031 gerai pasar modern nasional hanya membukukan omzet
Rp 33 trilliun, sementara hypermarket asing dengan 15 outlet mampu membukukan Rp 10,88 trilliun.
Masalah persaingan merupakan konsekuensi logis yang timbul dengan hadirnya retailer modern.
Permasalahan timbul ketika retailer modern mulai, memasuki wilayah keberadaan retailer tradisional. Ekspansi
agresif untuk pendirian pusat perbelanjaan modern ini sudah mendapat izin dari Pemerintah Daerah yang
bersangkutan dimana proses pemberian izin oleh aparat setempat tidak dilakukan secara transparan dan sering
berbenturan dengan berbagai kepentingan pribadi didalamnya. Beberapa faktor yang perlu dikaji dalam industri
retail tersebut adalah faktor regulasi, faktor efisiensi produk dan economics of scope, faktor lokasi, faktor
perilaku konsumen termasuk pola selera konsumsi masyarakat serta karakteristik dari produk yang dijual.
Usaha kecil dengan modal terbatas layak untuk mendapatkan perhatian dari KPPU mengingat mereka terbukti
tidak rentan terhadap imbasan krisis multidimensional yang melanda Indonesia sejak 1997. Dari sudut pandang
UU No 5. Tahun 1999 mengenai anti monopoli dan persaingan tidak sehat, kajian sektor retail ini dianggap
penting karena aspek persaingan akan dikaji melalui berbagai sudut pandang dari pasal-pasal dalam undang-
undang tersebut. Potensi pelanggaran pelaku usaha akan dikaji lebih jauh dengan menggunakan kacamata
persaingan usaha.
No 5. Tahun 1999 mengenai anti monopoli dan persaingan tidak sehat, kajian sektor retail ini dianggap
penting karena aspek persaingan akan dikaji melalui berbagai sudut pandang dari pasal-pasal dalam undang-
undang tersebut. Potensi pelanggaran pelaku usaha akan dikaji lebih jauh dengan menggunakan kacamata
persaingan usaha.
http://manajemenretailminimarketswalayan.wordpress.com/
No comments:
Post a Comment
Jangan Lupa Berilah Komentar!!
Trimakasih atas kunjungannnya.