Translate This

->

Wednesday, September 19, 2012

Akhir Sedih Khalid Bin Walid


Akhir Sedih Khalid Bin Walid

Khalid bin Walid, jenderal perang Islam berjuluk "Saifullah Al-Maslul (pedang Allah yang terhunus)". Reputasinya sebagai seorang jenderal ditakuti dan dikagumi lawan-lawannya. Namun selain kehebatannya sebagai seorang panglima perang, kaum muslimin juga banyak membicarakan hubungannya yang buruk dengan Umar bin Khattab. Krisis kepercayaan dengan sang sepupu berakhir dengan diberhentikannya Khalid Bin Walid dari kemiliteran, hal yang membuat hatinya menjadi galau.

"Aku berjuang dalam banyak pertempuran mencari mati syahid, tidak ada tempat di tubuhku melainkan memiliki bekas luka tusuk tombak, pedang atau belati, namun inilah aku, mati di tempat tidur seperti unta tua mati. Semoga mata para pengecut tidak pernah tidur." - Khalid bin Walid menjelang kematiannya.


Inilah Biografi Khalid Bin Walid - Pedang Allah

Khalid bin Walid (592–642), lahir sekitar tahun 592, ayahnya bernama Walid bin al-Mughira seorang kepala suku dari banu Makhzum (bangsa Quraisy). Di saat itu banu Makhzum bertanggung jawab terhadap masalah perang, mengurus persenjataan dan tenaga tempur. Sesaat setelah dilahirkan, Khalid dikirim ke suku Badui di gurun di mana udaranya masih bersih, segar dan belum terpolusi. di usia lima atau 6 tahun, ia kembali ke Mekah. Di masa kanak-kanak tersebut Khalid juga pernah terserang cacar ringan yang mengakibatkan timbulnya bekas cacar (bopeng) dipipi kirinya.

Khalid bin Walid dan Umar bin Khattab adalah saudara sepupu dan memiliki kemiripan wajah. Keduanya sangat tinggi, Khalid memiliki tubuh yang kuat, bahu yang lebar, badan yang kekar juga berjenggot penuh dan tebal di wajahnya.

Khalid seorang juara gulat, suatu ketika ia pernah adu gulat dengan Umar bin Khattab. Khalid dapat mematahkan kaki Umar. Ini mungkin awal dari perseteruan dua saudara sepupu tersebut. Khalid juga jago berkuda, dimasa kecil ia juga berlatih menggunakan senjata seperti panah, tombak, dan pedang. Tombak adalah senjata favoritnya.

Di Era Nabi Muhammad saw (610–632)

Pertempuran Melawan Kaum Muslimin

Tidak banyak diketahui kisah Khalid bin Walid di masa-masa awal nabi Muhammad saw. Ayah Khalid dikenal memusuhi Islam. Setelah periode hijrah dari Mekah ke Madinah, maka pertempuran antara kaum muslimin dgn kaum kafir quraisy pun dimulai. Khalid bin Walid tidak turut serta dalam perang Badar, peperangan pertama antara kaum muslimin dengan kafir quraisy. Dalam perang ini saudara Khalid, Walid bin Walid tertangkap dan ditawan. Kemudian Khalid bersama sang kakak pergi ke Madinah untuk menembus Walid. Namun segera setelah ditembus, dalam perjalanan ke Mekah, Walid melarikan diri, kembali ke Madinah dan masuk Islam.

Khalid menyerang balik pasukan muslimin
Kepemimpinan Khalid berperan besar untuk memastikan kemenangan kaum kafir quraisy dalam perang Uhud (625 M). Tahun 627 M terjadi Pertempuran Khandaq, ini merupakan peperangan terakhir Khalid dengan kaum Muslimin.

Masuk Islam

Saat perjanjian perdamaian (Perjanjian Hudaibiyyah, Maret 628 M) berlangsung antara kaum muslimin dan kafir quraisy, sejarah mencatat bahwa nabi Muhammad berkata kepada Walid (saudara Khalid), "Seseorang seperti Khalid, pasti akan tertarik pada Islam". Walid kemudian mengirim surat kepada Khalid, membujuknya masuk Islam. Khalid yang sebenarnya tidak terlalu mengidolakan berhala-berhala Ka'bah kemudian mengajak bicara Ikrimah bin Abu-Jahal - teman semasa kecilnya - yang menentang niatnya untuk masuk Islam.

Khalid kemudian diancam oleh Abu Sufyan yang hendak menyerangnya dengan penuh amarah, namun dihalangi oleh Ikrimah. "Sabar, Wahai Abu Sufyan, kemarahan Anda mungkin juga membawa saya untuk bergabung dengan Muhammad. Khalid bebas untuk mengikuti agama apa pun ia pilih". Khalid sendiri membalas Abu Sufyan dengan menjawab bernada keras, "Demi Allah orang suka atau tidak, sungguh dia benar."

Bulan May 629 M, Khalid menuju Madinah dan bertemu dengan Amru bin Ash dan Uthman bin Talha yang juga menuju Madinah untuk masuk Islam. Mereka tiba di Madinah pada 31 May 629 serta segera menuju rumah nabi Muhammad saw. Khalid kemudian diterima oleh sang kakak Walid bin Walid yang lebih dahulu masuk Islam.

Pertempuran Bersama Kaum Muslimin Di Era Nabi Muhammad saw

Tiga bulan setelah kedatangan Khalid di Madinah, nabi Muhammad saw mengirim utusan kepada penguasa Ghassanid Suriah, pengikut kekaisaran Romawi Bizantium, dengan surat mengundang dia untuk masuk Islam. Ketika melewati Mu'tah, utusan ini dicegat dan dibunuh oleh seorang kepala suku lokal Ghassanid dengan nama Shurahbil bin Amr. Secara tradisi utusan diplomatik memiliki kekebalan dan tidak boleh dibunuh. Kabar ini membuat Madinah marah.

Sebuah ekspedisi segera disiapkan untuk mengambil tindakan hukuman terhadap Ghassanid. Rasulullah lantas menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai panglima perang, bila Zaid gugur maka Ja'far bin Abi Thalib yang menggantikannya, dan bila Ja'far gugur maka Abdullah bin Rawahah akan menggantikannya. Bila ketiga panglima perang tersebut gugur maka panglima perang selanjutnya dipilih oleh pasukan muslimin.

Ketiga panglima perang tersebut pun akhirnya gugur syahid. Pasukan muslimin pun kemudian memilih Khalid Bin Walid sebagai panglima perang. Khalid kemudian mengatur strategi bagaimana 3000 pasukan muslimin selamat dari pembantaian 100.000 (200.000) pasukan gabungan Romawi Bizantium dan Ghassanid Arab dalam peristiwa yang dikenal sebagai Pertempuran Mu'tah.

Sepanjang malam Khalid mengatur pasukannya menjadi beberapa pasukan dibelakang pasukan utama. Pagi harinya menjelang pertempuran pasukan tersebut bergerak maju seakan-akan mereka adalah pasukan bala bantuan. Romawi pun merasa gentar mengira pasukan muslimin mendapatkan pasukan tambahan dalam jumlah besar.

Saat itu sepanjang hari Khalid entah bagaimana tetap bertahan dan tidak menyerang. Malam harinya Khalid memerintahkan pasukannya untuk mundur dan kembali ke Madinah. Namun Romawi tidak mengejar karena khawatir ini merupakan jebakan.

Dalam Pertempuran Mu'tah ini Khalid kehilangan sembilan pedangnya. Dan setelah pertempuran ini, Khalid diberi gelar Pedang Allah oleh Rasulullah saw.

Pertempuran Selanjutnya

Setahun kemudian pada 630 M kaum muslimin maju dari Madinah untuk membebaskan Mekah. Dalam Pembebasan Mekah ini, Khalid memimpin salah satu dari empat pasukan muslim yang bergerak dari empat arah yang berbeda mengepung Mekah. Dan hanya pasukan Khalid yang sempat mendapat perlawanan dari pasukan kavaleri quraisy yang menolak menyerah. Di tahun itu juga Khalid terlibat dalam Pertempuran Hunain dan pengepungan Tha'if.

Khalid juga terlibat dalam Pertempuran Tabuk yang dipimpin langsung nabi Muhammad saw. Khalid lalu dikirim ke wilayah Daumat-ul-Jandal dimana ia berjuang dan berhasil menangkap pangeran arab Daumat-ul-Jandal, memaksa Daumat-ul-Jandal untuk menyerah.

Pada 631 M Khalid bin Walid turut serta berpartisipasi dalam haji perpisahan Muhammad. Dalam peristiwa ini, ia mengumpulkan beberapa rambut Muhammad, sebagai peninggalan suci, yang akan menginspirasinya memenangkan pertempuran di masa mendatang.


Iklan komersial termahal $2,5 juta dollar, yang mengambarkan kecintaan Khalid bin Walid terhadap Rasulullah saw

Pertempuran Sebagai Panglima Perang Islam

Pada Januari 630 M, tahun ke 8 H, Khalid dikirim Rasullullah saw untuk menghancurkan berhala (jin ) Uzza. Seorang perempuan yang diklaim sebagai bentuk asli Uzza sukses dibunuh oleh Khalid.

Khalid juga dikirim oleh Rasulullah saw untuk mengajak banu Jadhima masuk Islam. namun Khalid melakukan tindakan kontroversial. Banu Jadhima yang sudah masuk Islam, namun Khalid menahan mereka semua dan mengeksekusi mati sebagian disebabkan permusuhan di masa lalu.

Rasulullah saw yang mendengar kabar ini lalu berdoa, "Allahumma ya Allah! aku bermohon kepada-Mu lepas tangan dari apa yang diperbuat oleh Khalid bin Walid itu." Rasul kemudian mengutus Ali bin Abi Thalib untuk mengurus diat (ganti rugi) terhadap banu Jadhima.

Era Khalifah Abu Bakar (632–634)

Pertempuran Riddah

Setelah kematian nabi Muhammad saw, banyak suku arab yang memberontak dan menolak kekuasaan Madinah. Khalifah Abu Bakar mengirim pasukan untuk mengatasi pemberontakan dan mereka yang murtad. Khalid adalah salah satu penasehat utama Abu Bakar dan arsitek perencanaan strategis Pertempuran Riddah. Dia diberi komando atas brigade muslimin terkuat (terdiri dari pejuang pilihan muhajirin dan anshar) dan dikirim ke pusat arab, daerah yang paling strategis dan sensitif di mana suku pemberontak paling kuat tinggal. Daerah ini paling dekat dengan kubu muslim Madinah dan merupakan ancaman terbesar ke kota. Pertama-tama, Khalid berangkat ke suku-suku pemberontak Tayy dan Jalida, dimana Adi bin Hatim - seorang sahabat terkemuka Nabi Muhammad, dan seorang kepala suku dari suku Tayy - dikirim sebagai penengah. Kedua suku kemudian setuju kembali bergabung ke kekhalifahan.

Perjuangan Khalid dalam Pertempuran Riddah
Pada pertengahan September 632 M, Khalid mengalahkan Tulaiha, seorang pemimpin pemberontak yang mengaku sebagai nabi untuk menarik dukungan bagi dirinya sendiri. Kekuasaan Tulaiha hancur setelah pengikutnya yang tersisa dikalahkan di Pertempuran Ghamra. Khalid berikutnya bergerak menuju Naqra dan mengalahkan pemberontak suku Bani Salim dalam Pertempuran Naqra. Wilayah ini berhasil diamankan setelah Pertempuran Zafar bulan Oktober 632 dengan kalahnya Salma seorang perempuan yang memimpin sisa-sisa pembangkang murtad.

Kontroversi Pembunuhan Malik bin Nuwairah

Setelah wilayah sekitar Madinah, ibukota Islam, direbut kembali, Khalid memasuki Nejd, wilayah perkampungan dari suku banu Tamim. Banyak dari anggota suku banu Tamim yang bergegas untuk mengunjungi Khalid dan menyatakan tunduk kepada kekuasaan kekhalifahan. Tetapi suku banu Yarbu, di bawah pimpinan Malik bin Nuwairah, menolak menyerah. Malik kemudian memilih menghindari kontak langsung dengan pasukan Khalid dan memerintahkan para pengikutnya untuk menyebar, dan ia dan keluarganya melarikan diri melintasi padang pasir.

Malik kemudian tertangkap oleh pasukan Khalid dan diserahkan kepada Khalid. Lalu diminta pertanggungjawaban mengenai "kejahatannya". Malik kemudian mengatakan, "sahabat anda mengatakan ini, sahabat anda mengatakan bahwa..." merujuk kepada Abu Bakar, Khalid menyatakan bahwa Malik murtad dan pemberontak, lalu memerintahkan agar dia dieksekusi. Setelah eksekusi Malik, Khalid menikahi istrinya yang sangat cantik, Layla bint al-Minhal (Umm Tamim) di malam harinya. Kasus Malik bin Nuwairah ini memang penuh kontroversi karena Malik dan pengikutnya menyakini bahwa mereka masih muslim.

Abu Qatadah al-Anshari, seorang sahabat Muhammad, yang mendampingi Khalid sangat terkejut dengan perbuatan Khalid meng-eksekusi mati Malik dan menikahi istrinya. Dengan keadaan marah, ia segera kembali ke Madinah, dan melaporkan perbuatan Khalid kepada Khalifah Abu Bakar. Ia juga bersumpah tidak akan mau lagi berada dibawah komando Khalid yang telah membunuh seorang Muslim. Abu Bakar ternyata malah memuji Khalid dan kemenangan-kemenangannya dan tidak senang dengan sikap Abu Qatadah.

Kemarahan Umar Terhadap Perbuatan Khalid

Kecewa dengan reaksi Abu Bakar, lantas Abu Qatadah mengadu kepada Umar bin Khattab. Umar ternyata sependapat dengan Abu Qatadah bahwa Khalid mengampangkan hukum Allah. Umar segera menemui Abu Bakar, meminta agar Khalid dipecat. "Pedang Khalid itu sangat tergesa-gesa dan harus ada sanksinya." ujar Umar. "Ah Umar! Dia sudah membuat pertimbangan tapi salah. Jangan mengatakan yang bukan-bukan tentang Khalid." jawab Abu Bakar. Namun Umar bersikeras agar Khalid diberi sanksi. "Umar! Aku tak akan menyarungkan pedang yang oleh Allah sudah dihunuskan kepada orang-orang kafir!" kata Abu Bakar kesal.

Abu Bakar akhirnya memanggil Khalid bin Walid ke Madinah untuk dimintai pertanggungjawaban. Tatkala Khalid tiba dari medan perang, Umar lantas menemuinya dan memarahinya "Anda musuh Allâh! Kau membunuh seorang Muslim dan kemudian menikahi istrinya. Demi Allâh, sungguh akan kurajam engkau dengan batu!"

Pertempuran Yamamah

Setelah insiden Malik, Abu Bakar mengirim Khalid untuk menghancurkan ancaman paling berbahaya bagi negara Islam yang baru lahir. Yakni Musailimah, pemimpin banu Hanifah yang mengaku sebagai nabi, dan sudah mengalahkan dua pasukan muslimin. Pada minggu ketiga bulan Desember 632, Khalid meraih kemenangan yang menentukan melawan Musailimah pada Pertempuran Yamamah. Musailimah tewas dalam pertempuran itu. Setelah peristiwa ini, hampir semua pemberontakan suku-suku berhasil ditumpas dalam Pertempuran Riddah yang berlangsung selama sekitar setahun.

Invasi Ke Wilayah Kekaisaran Persia

Setelah masalah pemberontakan selesai, dan penduduk arab kembali bersatu dalam panji Islam. Abu Bakar khawatir melihat wilayah Islam yang terjepit diantara 2 kekaisaran besar (Persia dan Romawi Bizantium) lantas memutuskan untuk menyerang Persia dan Romawi. Khalid kemudian dikirim untuk memerangi Kekaisaran Persia dengan pasukan yang terdiri dari 18.000 sukarelawan untuk menaklukkan provinsi terkaya kekaisaran Persia, wilayah sungai Efrat Mesopotamia yang lebih rendah, (Irak).

Khalid dengan cepat meraih empat pertempuran berturut-turut. Pertempuran Chains, berperang pada bulan April 633, Pertempuran Sungai, bertempur di minggu ketiga bulan April 633, Pertempuran Walaja, berperang Mei 633 dan Pertempuran Ullais, bertempur di pertengahan bulan Mei 633. Pada minggu terakhir bulan Mei 633, Al-Hira, ibu kota daerah Mesopotamia rendah, jatuh ke tangan Khalid. Penduduk Mesopotamia rendah (Irak) memilih berdamai dengan membayar jizyah (upeti) setiap tahun serta setuju untuk memberikan informasi intelijen bagi pasukan muslimin. Setelah beristirahat pasukannya, pada bulan Juni 633. Khalid mengepung Anbar yang meskipun mendapat perlawanan sengit berhasil direbut pada bulan Juli 633. Khalid kemudian bergerak ke arah selatan, dan menguasai Tamr Ein ul pada minggu terakhir bulan Juli, 633.

Sekarang, hampir semua Mesopotamia rendah, (wilayah utara Efrat), berada di bawah kendali Khalid. Sementara itu, Khalid menerima permintaan permohonan bantuan dari Ayaz bin Ghanam di wilayah Daumat-ul-Jandal. Agustus 633, Khalid pergi ke Daumat-ul-Jandal dan mengalahkan para pemberontak dalam Pertempuran Daumat-ul-Jandal, menguasai benteng kota. Dalam perjalanan kembali ke Mesopotamia, Khalid dikabarkan telah melakukan perjalanan rahasia ke Mekah untuk berpartisipasi dalam haji.

Setelah kembali dari Arab, Khalid menerima informasi intelijen bahwa adanya pasukan Persia dalam jumlah besar dibantu orang Kristen Arab. Pasukan besar ini terbagi dalam empat kamp-kamp yang berbeda di wilayah Efrat, di Hanafiz, Zumail, Saniyy dan terbesar berada di Muzayyah. Khalid memilih menghindari pertempuran langsung melawan mereka semua. Lantas memutuskan untuk menyerang dan menghancurkan setiap kamp-kamp dalam serangan malam hari terpisah dari tiga sisi. Dia membagi pasukannya dalam tiga unit, dan menyerang pasukan Persia dalam serangan terkoordinasi dari tiga arah yang berbeda pada malam hari, dimulai dari Pertempuran Muzayyah, maka Pertempuran Saniyy, dan akhirnya Pertempuran Zumail pada bulan November 633 Masehi.

Perjuangan Khalid dalam Pembebasan Irak
Setelah serangkaian kemenangan, sampailah Khalid dan pasukannya di Firaz yaitu perbatasan Irak dengan Syam. Dalam pertempuran terakhir Khalid di wilayah Persia ini, bersama pasukannya Khalid menghadapi pasukan gabungan Romawi, Persia dan Kristen Arab dalam pertempuran yang dikenal sebagai Pertempuran Firaz. Ketika Khalid sedang dalam perjalanan untuk menyerang Qadissiyah, sebuah benteng kunci menuju Ctesiphon, ia menerima surat dari Abu Bakar yang memerintahkannya untuk menuju Romawi Bizantium di Suriah dengan maksud membebaskan Syam.

Invasi Ke Wilayah Timur Kekaisaran Romawi Bizantium

Pasukan Muslimin mendatangi Syam dari 4 arah berbeda
Setelah sukses menaklukan provinsi Persia - Sassanid Irak, Khalifah Abu Bakar mengirim sebuah ekspedisi untuk menyerang Levant (Romawi Suriah). Invasi ini akan dilaksanakan oleh empat pasukan dari empat arah berbeda. Bizantium menanggapi ancaman ini dengan menempatkan pasukan-pasukannya saling berhadapan dengan masing-masing pasukan muslimin. Bizantium juga memusatkan pasukan mereka di Ajnadyn (suatu tempat di Palestina, mungkin al-Lajjun). Langkah pasukan muslim tertahan di wilayah perbatasan, disebabkan kekuatan besar di pihak Romawi Bizantium. Tentara muslimin tidak lagi bebas untuk bergerak ke Suriah pusat atau utara. Kekuatan pasukan muslimin tampaknya terlalu kecil melawan ancaman pasukan Bizantium dalam jumlah besar, dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah, komandan Muslim bagian depan Suriah, meminta bala bantuan dari Khalifah. Abu Bakar menanggapinya dengan mengirimkan bala bantuan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid, dari Irak. Khalid yang ingin melanjutkan perjuangannya membebaskan Persia merasa kesal. Khalid curiga bahwa perintah Khalifah karena saran Umar bin Khattab. "Ini pasti perbuatan si kidal anak Umm Sakhlah - yakni Umar bin Khattab - dia dengki kepadaku karena aku yang membebaskan Irak." kata Khalid setelah membaca surat perintah Khalifah.

Ada dua rute menuju Suriah dari Irak, salah satunya melalui Daumat-ul-Jandal (sekarang dikenal sebagai Skaka) dan yang lainnya adalah melalui Mesopotamia melewati Ar-Raqqah. Karena pasukan Islam di Suriah yang membutuhkan bantuan secepatnya, Khalid menghindari rute konvensional ke Suriah melalui Daumat-ul-Jandal karena jauh dan akan memerlukan beberapa minggu untuk mencapai Suriah. Dia juga menghindari rute Mesopotamia karena kehadiran pasukan Romawi di Suriah utara dan Mesopotamia. Berperang dengan mereka pada saat pasukan muslimin sedang terkepung di Suriah, juga berarti akan terjadi pertempuran di dua front. Khalid memilih rute yang tidak terlalu jauh ke Suriah, jalur yang tidak biasa dilalui, yakni Gurun Suriah. Ia berjalan bersama pasukannya melintasi gurun, di mana secara tradisi diperkirakan prajuritnya akan berjalan selama dua hari tanpa setetes minum, sebelum mencapai sumber air di oasis. Khalid memecahkan masalah kekurangan air dengan menggunakan metode suku Badui. Unta yang diberi minum air yang banyak, setelah unta tersebut sebelumnya dibuat sedemikian haus, sehingga akan mendorong unta untuk minum banyak air pada satu waktu. Beberapa ekor unta kemudian juga dibedah perutnya guna diambil kantong airnya untuk memberi minum kuda-kuda. Cara ini terbukti efektif bagi pasukan muslim saat melintasi gurun.

Rute Khalid menuju Suriah dan membebaskan Syam
Khalid memasuki Suriah pada bulan Juni 634 dan dengan cepat merebut benteng perbatasan dari Sawa, Arak, Palmyra, al-Sukhnah (Qaryatayn dan Hawarin direbut setelah Pertempuran Qarteen dan Pertempuran Hawarin). Setelah menundukkan kota-kota ini, Khalid bergerak menuju Bosra, sebuah kota dekat perbatasan Suriah-Arab dan ibukota kerajaan Ghassanid Arab, pengikut dari Kekaisaran Romawi Timur. Dia menuju arah Damaskus melewati gunung yang kini dikenal sebagai "Sanita-al-Uqab" ("jalan tembus Uqab") dinamai demikian karena pasukan Khalid mengibarkan al-Uqab, bendera Rasulullah. Dalam perjalanan di Maraj-al-Rahat, Khalid melewati tentara Ghassanid Kristen Arab dan terjadi pertempuran singkat yang dikenal sebagai Pertempuran Marj al-Rahit.

Dengan kabar kedatangan Khalid, Abu Ubaidah memerintahkan Syurahbil bin Hasanah, salah satu dari empat komandan pasukan muslimin, untuk menyerang kota Bosra. Pasukan Syurahbil bin Hasanah yang kalah jumlah, ditertawakan oleh pasukan Romawi Byzantium dan Kristen Arab yang berpikir akan mudah mengalahkannya, namun tanpa mereka duga pasukan Khalid tiba dari gurun dan menyerang sisi belakang pasukan Romawi Bizantium, menyelamatkan Shurhabil dari kekalahan. Pasukan musuh lantas mundur ke benteng kota. Abu Ubaidah bergabung bersama Khalid bin Walid di Bosra. Kemudian Khalid, sesuai instruksi dari khalifah, mengambil alih komando tertinggi. Benteng Bosra menyerah pada pertengahan Juli 634, efektif mengakhiri dinasti Ghassanid. Setelah merebut Bosra, Khalid memerintahkan semua pasukan untuk bergabung dengannya di Ajnadayn, di mana mereka berjuang dalam pertempuran menentukan melawan Bizantium tanggal 30 Juli 634. Sejarawan modern menganggap pertempuran ini adalah pertempuran paling menentukan dalam mengakhiri kekuasaan Bizantium di Suriah.

Akibat kekalahan di Pertempuran Ajnadayn, wilayah kiri Suriah rentan terhadap tentara muslim. Sekarang, Khalid bin Walid memutuskan untuk merebut Damaskus, benteng Bizantium. Di Damaskus, Thomas, anak angkat Heraklius Kaisar Byzantium, yang bertanggung jawab atas pertahanan kota, mendapat informasi intelijen, bahwa pasukan Khalid bergerak menuju Damaskus, ia mempersiapkan pertahanan kota. Dia menulis kepada Kaisar Heraklius, yang pada saat itu di Emesa, untuk mengirim bala bantuan. Selain itu, Thomas, dalam rangka untuk menunda atau menghentikan pergerakan pasukan Khalid mengirimkan pasukannya untuk bergerak maju. Dua pasukannya dikirim. Yang pertama di Yaqusa pada pertengahan bulan Agustus dan yang lainnya di Maraj as-Saffer pada tanggal 19 Agustus. Sementara itu, sebelum bala bantuan Heraklius mencapai Damaskus, Khalid mengisolasi Damaskus dengan menempatkan detasemen selatan di jalur Palestina dan di utara di jalur Damaskus dengan Emesa, dan beberapa detasemen lain yang lebih kecil pada rute menuju Damaskus. Bala bantuan Heraklius dicegat dan diserang oleh pasukan Khalid di Pertempuran Sanita-al-Uqab, 30 km dari Damaskus.

Khalid memimpin serangan dan menaklukkan Damaskus pada tanggal 18 September 634 setelah pengepungan selama 30 hari. Menurut beberapa sumber, pengepungan ini berlangsung selama sekitar empat atau enam bulan. Kaisar Heraklius yang menerima berita jatuhnya Damaskus, berangkat ke Antiokhia dari Emesa. Kavaleri muslimin di bawah Khalid menyerang pasukan Bizantium dari Damaskus yang juga menuju ke Antiokhia, menyusul mereka menggunakan jalan pintas yang tidak diketahui, dalam Pertempuran Maraj-al-Debaj, 150 kilometer sebelah utara Damaskus.

Abu Bakar meninggal selama pengepungan Damaskus dan Umar menjadi khalifah baru. Khalid bin Walid kemudian dipecat sebagai panglima perang pasukan muslimin oleh Umar bin Khattab. Umar menunjuk Abu Ubaidah bin al-Jarrah sebagai panglima baru dalam pasukan Islam di Suriah. Abu Ubaidah mendapat surat pengangkatan dan pemberhentian Khalid selama pengepungan, tetapi ia menunda pengumuman sampai kota itu ditaklukkan.

Era Khalifah Umar Bin Khattab (634–642)

Pada tanggal 22 Agustus 634, Abu Bakar meninggal, dan Umar bin Khattab menggantikannya sebagai khalifah. Langkah pertama Umar adalah membebastugaskan Khalid dari komando tertinggi pasukan muslimin dan mengangkat Abu Ubaidah sebagai komandan baru pasukan muslimin. Hubungan antara Khalid dengan Umar telah menegang sejak insiden Malik bin Nuwairah. Akibatnya terjadi krisis kepercayaan antara keduanya. Sosok Khalid yang tak terkalahkan, membuat Umar khawatir seandainya kaum muslimin melupakan fakta bahwa semua kemenangan ini karena pertolongan Allah.

Umar menjelaskan alasannya memecat Khalid mengatakan: "Saya tidak memecat Khalid bin Walid karena benci atau pengkhianatan tetapi karena semua orang sudah terpesona, saya khawatir orang hanya percaya kepadanya dan hanya akan berkorban untuknya. Maka saya ingin mereka tahu bahwa Allah Maha Pencipta dan supaya mereka tidak menjadi sasaran fitnah."

Setelah dipecat sebagai panglima perang, Khalid masih melanjutkan perjuangan pembebasan Syam dibawah pimpinan Abu Ubaidah. Abu Ubaidah yang seorang pengagum Khalid, memberinya komando kavaleri dan menjadikannya sebagai penasihat militer.

Peta rute Khalid bin Walid dalam Pembebasan Suriah utara
Peta rute Khalid bin Walid dalam ekspedisi ke Armenia dan Anatolia
Aksi heroik Khalid sangat membantu Abu Ubaidah dalam Penaklukan Levant Tengah, Pertempuran Emesa, Pertempuran Damaskus bagian kedua, Pertempuran Yarmuk, Penaklukan Yerusalem, Penaklukan Suriah Utara dan Perjalanan ke Armenia dan Anatolia.

Pemecatan Khalid bin Walid Dari Kemiliteran

Khalid bin Walid, sekarang, berada di puncak karir, ia terkenal dan dicintai oleh anak buahnya, bagi kaum muslimin dia adalah seorang pahlawan nasional, publik mengenalnya sebagai Saifullah - "Pedang Allah". Ketenarannya tampak membuat risau Khalifah Umar, yang khawatir bila Khalid dibiarkan terus semaunya suatu hari ia akan mencapai puncak kesombongan dan kezalimannya, tak lagi peduli dengan perintah Khalifah. Karena itu Umar membutuhkan alasan untuk mengambil tindakan hukum terhadap Khalid. Dia menemukan satu alasan seperti ketika Khalid, selama tinggal di Amid, Armenia, mandi dengan dengan zat tertentu yang mengandung khamr. Umar dalam suratnya kepada Khalid menanyakan perihal ini. Khalid menjawab, "Kami sudah menolaknya tetapi bahan pembersih tak ada selain khamr."

Khalid juga diduga membayar Asy'as bin Qais, seorang penyair dan pahlawan perang Persia untuk membacakan puisi yang memujinya dengan bayaran sebesar 10.000 dirham yang diduga menggunakan kas negara. Karena itu Umar menuduhnya menyalahgunakan keuangan negara. Umar kemudian menulis surat kepada Abu Ubaidah supaya memanggil Khalid, dan mengikatnya dengan serbannya serta melepaskan qalansuwah-nya (topi kebesaran) sampai terungkap pemberiannya kepada Asy'as bin Qais. Dari harta sendiri atau dari harta rampasan perang. Kalau dia mengatakan itu adalah harta rampasan perang, maka itu adalah bukti pengkhianatannya. Dan bila dia mengatakan itu dari hartanya sendiri maka itu berarti pemborosan. Bagaimanapun juga ia mendapat perintah memecat Khalid bin Walid.

Abu Ubaidah yang mengagumi Khalid dan menghormati Khalifah Umar pun menjadi kebingungan. Bagaimanapun juga, Khalid akhirnya dipanggilnya namun untuk pelaksanaannya diserahkan kepada kurir Umar (yakni muadzin Nabi, Bilal). Dihadapan pasukannya Khalid naik ke atas mimbar, lalu Bilal pun menanyakan asal muasal hadiah pemberian kepada Asy'as bin Qais. Khalid menyatakan bahwa itu semua dari hartanya sendiri. Kejadian ini membuat Khalid marah dan merasa dipermalukan.

Kemudian Khalid pun mengunjungi Abu Ubaidah yang lantas memberitahunya bahwa dirinya dipecat atas perintah Khalifah Umar bin Khattab, dan diminta kembali ke Medinah. Di Medinah, dalam keadaan marah Khalid menemui Umar dan menyatakan protes terhadap perlakuan yang tidak adil kepadanya. Umar lalu menenangkannya dengan berkata, "Apa yang telah anda telah lakukan dan tidak ada seorang pun yang melakukan seperti yang anda lakukan. Tapi ini bukan tentang orang yang melakukan, Allah-lah yang melakukan...."

Kematian Khalid bin Walid

Kurang dari empat tahun setelah pemecatannya, Khalid meninggal dan dikuburkan di 642 di Emesa, di mana ia tinggal sejak pemecatannya dari kemilteran. Makamnya sekarang merupakan bagian dari sebuah masjid bernama Masjid Khalid bin al-Walid. Nisan Khalid menggambarkan daftar lebih dari 50 pertempuran yang ia menangi tanpa kekalahan (tidak termasuk pertempuran kecil).

Masjid Khalid bin al-Walid
Dikisahkan bahwa ia ingin mati sebagai martir di medan pertempuran, dan sangat kecewa ketika menyadari dirinya akan mati di tempat tidur. Khalid mengungkapkan rasa sedihnya dengan berkata,
"Aku berjuang dalam banyak pertempuran mencari mati syahid, tidak ada tempat di tubuhku melainkan memiliki bekas luka tusuk tombak, pedang atau belati, namun inilah aku, mati di tempat tidur seperti unta tua mati. Semoga mata para pengecut tidak pernah tidur."

Keluarga Khalid bin Walid

Ayah Khalid bernama Walid bin al-Mughira dan sang ibu bernama Lubabah as-Saghirah. Walid dikabarkan memiliki banyak istri dan anak, namun hanya beberapa saja yang tercatat dalam sejarah.

Putra Walid bin al-Mughira: (Saudara lelaki Khalid):

Hisham bin Walid
Walid bin Walid
Ammarah bin Walid
Abdul Shams bin Walid

Putri Walid bin al-Mughira: (Saudara perempuan Khalid):

Faktah binti Walid
Fatimah binti Walid
Najiyah binti al-Walid (masih diperselisihkan)

Tidak diketahui berapa banyak anak yang dimiliki Khalid, namun tiga putra dan seorang putri tercatat dalam sejarah.

Sulaiman bin Khalid
Abdulrehman bin Khalid
Muhajir bin Khalid

Sulaiman bin Khalid (putra tertua), tewas dalam penaklukan Mesir, Muhajir bin Khalid meninggal dalam Pertempuran Siffin saat berperang di sisi Khalifah Ali dan Abdulrehman bin Khalid menjadi Gubernur Emesa saat pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan serta berpartisipasi dalam Pertempuran Siffin sebagai salah satu jenderal dari Muawiyah I, ia juga bagian dari pasukan Umayyah yang mengepung Konstantinopel pada tahun 664. Abdulreman kemudian akan ditunjuk sebagai penerus dari Khalifah Muawiyah, tetapi menurut beberapa narasi (Kemungkinan besar dari Sumber Syiah) ia diracun oleh Muawiyah, karena Muawiyah ingin membuat anaknya Yazid I menjadi penggantinya. Garis keturunan laki-laki dari Khalid diyakini telah berakhir dengan cucunya, Khalid bin Abdur-Rahman bin Khalid.

Referensi:

Buku "Sejarah Hidup Muhammad" karya Muhammad Husain Haekal
Buku "Biografi Abu Bakar As-Siddiq" karya Muhammad Husain Haekal
Buku "Biografi Umar bin Khattab" karya Muhammad Husain Haekal

Thursday, August 30, 2012

Leader's inaugural speech at NAM Summit

In the Name of Allah, the Beneficent, the Merciful, 

All praise belongs to Allah, the Lord of the Two Worlds, and may peace and blessings be upon the greatest and trustworthy Messenger and on his pure progeny, his select companions, and all the prophets and divine envoys. 

I welcome you honorable guests, the leaders and delegations representing the member states of the Non-Aligned Movement, and all the other participants of this great international summit. 

We have gathered here to continue a movement with God’s guidance and assistance and to give it new life and momentum on the basis of the current conditions and needs in the world. The movement was founded almost six decades ago thanks to the intelligence, time awareness, and courage of a few caring and responsible political leaders who were aware of the conditions and circumstances of their time. 

Our guests have gathered here from different geographical locations, far and near, and they belong to different nationalities and races with different ideological, cultural, historical and inherited characteristics, but just as Ahmad Sukarno, one of the founders of this movement said in the famous Bandung Conference in the year 1956, the basis of establishing the Non-Aligned Movement is not geographical or racial and religious unity, but rather unity of needs. At that time, the member states of the Non-Aligned Movement were in need of a bond that could safeguard them against authoritarian, arrogant and insatiable networks and today with the progress and spread of the instruments of hegemony, this need still exists. 

I would like to point out another truth. Islam has taught us that in spite of their racial, linguistic and cultural differences, human beings share the same nature, which calls them to purity, justice, benevolence, compassion and cooperation. It is this universal human nature which - if it can safely steer away from misleading motives - guides human beings to monotheism and understanding of God’s transcendent essence. 

This brilliant truth has such potential that can form the foundation of societies which are free and proud and at the same time enjoy progress and justice. It can extend the light of spirituality to all material and worldly endeavors of humankind and can create a paradise on earth for human beings in advance of the other-worldly paradise, which has been promised by divine religions. And it is this common and universal truth that can form the foundation of brotherly cooperation among the nations that do not share any similarities in terms of outward structures, historical background and geographical location. 

Whenever international cooperation is based on such a foundation, governments will build their relations with each other not on the basis of fear and threats, or greed and unilateral interests, or mediation of treacherous and venal individuals, but on the basis of wholesome and shared interests and more importantly, the interests of humanity. In this way, governments can relieve their awakened consciences and put the minds of their peoples at ease. 

This ideal order is the exact opposite of the hegemonic order, which has been upheld, propagandized and led by hegemonic Western powers in the recent centuries and by the domineering and aggressive government of America today. 

Dear guests, today after the passage of nearly six decades, the main ideals of the Non-Aligned Movement remain alive and steady: ideals such as anti-colonialism, political, economic and cultural independence, non-alignment with any power blocs, and improving solidarity and cooperation among the member states. The realities of today’s world fall short of those values, but the collective will and comprehensive efforts to go beyond the realities and materialize these ideals, though full of challenges, are promising and rewarding. 

In the recent past, we have witnessed the failure of the policies of the Cold War era and the unilateralism that followed it. Having learnt lessons from this historical experience, the world is in transition towards a new international order and the Non-Aligned Movement can and should play a new role. This new order should be based on public participation and equal rights for all nations. And as members of this movement, our solidarity is an obvious necessity in the current era for establishing this new order. 

Fortunately, the outlook of global developments promises a multifaceted system in which the traditional power blocs are replaced with a group of countries, cultures and civilizations from different economic, social and political origins. The striking events that we have witnessed over the past three decades clearly show that the emergence of new powers has coincided with the decline of the traditional powers. This gradual transition of power provides the non-aligned countries with an opportunity to play a significant and worthy role on the world stage and prepare the ground for a just and truly participatory global management. In spite of varying perspectives and orientations, we member states of this movement have managed to preserve our solidarity and bond over a long period of time within the framework of the shared ideals and this is not a simple and small achievement. This bond can prepare the ground for transitioning to a just and humane order. 

Current global conditions provide the Non-Aligned Movement with an opportunity that might never arise again. Our view is that the control room of the world should not be managed by the dictatorial will of a few Western countries. It should be possible to establish and ensure a participatory system for managing international affairs, one that is global and democratic. This is what is needed by all the countries that have been directly or indirectly harmed as a result of the transgression of a few bullying and hegemonic countries. 

The UN Security Council has an illogical, unjust and completely undemocratic structure and mechanism. This is a flagrant form of dictatorship, which is antiquated and obsolete and whose expiry date has passed. It is through abusing this improper mechanism that America and its accomplices have managed to disguise their bullying as noble concepts and impose them on the world. They protect the interests of the West in the name of “human rights.” They interfere militarily in other countries in the name of “democracy.” They target defenseless people in villages and cities with their bombs and weapons in the name of “fighting terrorism.” From their perspective, humanity is divided into first-, second- and third-class citizens. Human life is considered cheap in Asia, Africa and Latin America, and expensive in America and Western Europe. The security of America and Europe is considered important, while the security of the rest of humanity is considered unimportant. Torture and assassination are permissible and can be completely overlooked if they are carried out by America, the Zionists and their puppets. It does not trouble their conscience that they have secret prisons in various places on different continents, in which defenseless prisoners who have no legal representation and have not been tried in a court of law are treated in the most hideous and detestable way. Good and evil are defined in a completely one-sided and selective way. They impose their interests on the nations of the world in the name of “international law.” They impose their domineering and illegal words in the name of “international community.” Using their exclusive and organized media network, they disguise their lies as the truth, their falsehood as true, and their oppression as efforts to promote justice. In contrast, they brand as lies every true statement that exposes their deceit and label every legitimate demand as roguish. 

Friends, this flawed and harmful situation cannot continue. Everybody has become tired of this faulty international structure. The 99-percent movement of the American people against the centers of wealth and power in America and the popular protests in Western Europe against the economic policies of their governments show that the people are losing their patience with this situation. It is necessary to remedy this irrational situation. Firm, logical and comprehensive bonds between member states of the Non-Aligned Movement can have a profound effect on finding and administering a remedy. 

Honorable audience, international peace and security are among the critical issues of today’s world and the elimination of catastrophic weapons of mass destruction is an urgent necessity and a universal demand. In today’s world, security is a shared need where there is no room for discrimination. Those who stockpile their anti-human weapons in their arsenals do not have the right to declare themselves as standard-bearers of global security. Undoubtedly, this will not bring about security for themselves either. It is most unfortunate to see that countries possessing the largest nuclear arsenals have no serious and genuine intention of removing these deadly weapons from their military doctrines and they still consider such weapons as an instrument that dispels threats and as an important standard that defines their political and international position. This conception needs to be completely rejected and condemned. 

Nuclear weapons neither ensure security, nor do they consolidate political power; rather they are a threat to both security and political power. The events that took place in the 1990s showed that the possession of such weapons could not even safeguard a regime like the former Soviet Union. And today we see certain countries which are exposed to waves of deadly insecurity despite possessing atomic bombs. 

The Islamic Republic of Iran considers the use of nuclear, chemical and similar weapons as a great and unforgivable sin. We proposed the idea of “Middle East free of nuclear weapons” and we are committed to it. This does not mean forgoing our right to peaceful use of nuclear power and production of nuclear fuel. On the basis of international laws, peaceful use of nuclear energy is a right of every country. All should be able to employ this wholesome source of energy for various vital uses of their country and people, without having to depend on others for exercising this right. Some Western countries, themselves possessing nuclear weapons and guilty of this illegal action, want to monopolize the production of nuclear fuel. Surreptitious moves are under way to consolidate a permanent monopoly over production and sale of nuclear fuel in centers carrying an international label but in fact within the control of a few Western countries. 

A bitter irony of our era is that the U.S. government, which possesses the largest and deadliest stockpiles of nuclear arms and other weapons of mass destruction and the only country guilty of its use, is today eager to carry the banner of opposition to nuclear proliferation. The U.S. and its Western allies have armed the usurper Zionist regime with nuclear weapons and created a major threat for this sensitive region. Yet the same deceitful group does not tolerate the peaceful use of nuclear energy by independent countries, and even opposes, with all its strength, the production of nuclear fuel for radiopharmaceuticals and other peaceful and humane purposes. Their pretext is fear of production of nuclear weapons. In the case of the Islamic Republic of Iran, they themselves know that they are lying, but lies are sanctioned by the kind of politics that is completely devoid of the slightest trace of spirituality. One who makes nuclear threats in the 21st century and does not feel ashamed, will he feel ashamed of lying? 

I stress that the Islamic Republic has never been after nuclear weapons and that it will never give up the right of its people to use nuclear energy for peaceful purposes. Our motto is: “Nuclear energy for all and nuclear weapons for none.” We will insist on each of these two precepts, and we know that breaking the monopoly of certain Western countries on production of nuclear energy in the framework of the Non-Proliferation Treaty is in the interest of all independent countries, including the members of the Non-Aligned Movement. 

The Islamic Republic's successful experience in resistance against the bullying and comprehensive pressures by America and its allies has firmly convinced it that the resistance of a unified and firmly determined nation can overcome all enmities and hostilities and open a glorious path to its lofty goals. The comprehensive advances made by our country in the last two decades are facts for all to see, as repeatedly attested by official international observers. All this has happened under sanctions, economic pressures and propaganda campaigns by networks affiliated with America and Zionism. The sanctions, which were regarded as paralyzing by nonsensical commentators, not only did not and will not paralyze us, but have made our steps steadier, elevated our resolve and strengthened our confidence in the correctness of our analyses and the inborn capacities of our nation. We have with our own eyes repeatedly witnessed divine assistance in these challenges. 

Honored guests, I deem it necessary to speak about a very important issue, which though related to our region has dimensions extending far beyond it and which has influenced global policies for several decades. This issue is the agonizing issue of Palestine. The summary of this matter is that on the basis of a horrible Western plot and under the direction of England in the 1940s, an independent country with a clear historical identity called “Palestine” has been taken away from its people through the use of weapons, killings and deception and has been given to a group of people the majority of whom are immigrants from European countries. This great usurpation - which at the outset was accompanied with massacres of defenseless people in towns and villages and their expulsion from their homes and homeland to bordering countries - has continued for more than six decades with similar crimes and continues to this very day. This is one of the most important issues of the human community. 

Political and military leaders of the usurping Zionist regime have not avoided any crimes during this time: from killing the people, destroying their homes and farms and arresting and torturing men and women and even their children, to humiliating and insulting that nation and trying to destroy it in order to digest it in the haraam-eating stomach of the Zionist regime, to attacking their refugee camps in Palestine itself and in the neighboring countries where millions of refugees live. Such names as Sabra and Shatila, Qana and Deir Yasin have been etched in the history of our region with the blood of the oppressed Palestinian people. 
Even now after 65 years the same kind of crimes marks the treatment of Palestinians remaining in the occupied territories by the ferocious Zionist wolves. They commit new crimes one after the other and create new crises for the region. Hardly a day passes without reports of murder, injury and arrests of the youth who stand up to defend their homeland and their honor and protest against the destruction of their farms and homes. The Zionist regime, which has carried out assassinations and caused conflicts and crimes for decades by waging disastrous wars, killing people, occupying Arab territories and organizing state-sponsored terrorism in the region and in the world, labels the Palestinian people as “terrorists”, the people who have stood up to fight for their rights. And the media networks which belong to Zionism and many of the Western and mercenary media repeat this great lie in violation of ethical values and journalistic commitment, and the political leaders who claim to defend human rights have closed their eyes on all these crimes and support that criminal regime shamelessly and boldly and assume the role of their advocates. 

Our standpoint is that Palestine belongs to the Palestinians and that continuing its occupation is a great and intolerable injustice and a major threat to global peace and security. All solutions suggested and followed up by the Westerners and their affiliates for “resolving the problem of Palestine” have been wrong and unsuccessful, and it will remain so in the future. We have put forth a just and entirely democratic solution. All the Palestinians - both the current citizens of Palestine and those who have been forced to immigrate to other countries but have preserved their Palestinian identity, including Muslims, Christians and Jews - should take part in a carefully supervised and confidence-building referendum and choose the political system of their country, and all the Palestinians who have suffered from years of exile should return to their country and take part in this referendum and then help draft a Constitution and hold elections. Peace will then be established. 

Now I would like to give a benevolent piece of advice to American politicians who always stood up to defend and support the Zionist regime. So far, this regime has created countless problems for you. It has presented a hateful image of you to the regional peoples, and it has made you look like an accomplice in the crimes of the usurping Zionists. The material and moral costs borne by the American government and people on account of this are staggering, and if this continues, the costs might become even heavier in the future. Think about the Islamic Republic's proposal of a referendum and with a courageous decision, rescue yourselves from the current impossible situation. Undoubtedly, the people of the region and all free-thinkers across the world will welcome this measure. 

Honorable guests, now I would like to return to my initial point. Global conditions are sensitive and the world is passing through a crucial historical juncture. It is anticipated that a new order shall be born. The Non-Aligned Movement, which includes almost two-thirds of the world community, can play a major role in shaping that future. The holding of this major conference in Tehran is itself a significant event to be taken into consideration. By pooling our resources and capacities, we members of this movement can create a new historic and lasting role towards rescuing the world from insecurity, war and hegemony. 

This goal can be achieved only through our comprehensive cooperation with each other. There are among us quite a few countries that are very wealthy and countries that enjoy international influence. It is completely possible to find solutions for problems through economic and media cooperation and through passing on experiences that help us improve and make progress. We need to strengthen our determination. We need to remain faithful to our goals. We should not fear the bullying powers when they frown at us, nor should we become happy when they smile at us. We should consider the will of God and the laws of creation as our support. We should learn lessons from what happened to the communist camp two decades ago and from the failure of the policies of so-called “Western liberal democracy” at the present time, whose signs can be seen by everybody in the streets of European countries and America and in the insoluble economic problems of these countries. And finally, we should consider the Islamic Awakening in the region and the fall of the dictatorships in North Africa, which were dependent on America and were accomplices to the Zionist regime, as a great opportunity. We can help improve the “political productivity” of the Non-Aligned Movement in global governance. We can prepare a historic document aimed to bring about a change in this governance and to provide for its administrative tools. We can plan for effective economic cooperation and define paradigms for cultural relations among ourselves. Undoubtedly, establishing an active and motivated secretariat for this organization will be a great and significant help in achieving these goals. 

Thank you. 

TE/SS/IS Press TV

Tuesday, August 28, 2012

Masuklah Syurga Dengan RahmatKu


Malaikat Jibril bercerita kepada Nabi Muhammad bahwa ada seorang hamba Allah yang beribadah selama lima ratus tahun  di atas puncak gunung yang dikelilingi oleh lautan. Di bawah gunung itu ada mata air yang  selalu mengeluarkan air  tawar dan pohon delima yang setiap hari berbuah. Setiap hari si hamba ini memakan buah delima dan meminum air tawar sembari berwudlu untuk beribadah bersembahyang. Dalam setiap doanya dia selalu meminta agar dicabut nyawanya ketika bersujud dan doanya dikabulkan oleh Allah dengan memerintahakan kepada Malaikat pencabut nyawa untuk mencabut rohnya ketika bersujud.
Ketika dibangkitkan dihari kiamat , Allah berfirman kepada malaikatNya:
“Masukkan hamba-Ku ini di syurga karna rahmat-Ku!”.
Demi mendengar firman Tuhan ini,  hamba Allah tadi merasa tersinggung karna seluruh pengabdiannya yang mencapai 500 tahun tidak disebutkan sebagai penyebab masuknya ke dalam syurga.
“Tentu saja dengan rahmat-Mu Wahai Tuhan!, Namun juga dengan ibadahku itu ..” Protes hamba Allah tadi.
Tuhanpun memerintahkan kepada Malaikat Nya untuk menyiapkan “Very-Very High precision Scale” Timbangan akhirat yang super canggih dan super teliti. Kemudian Allah memerintahkan agar nikmat mata si hamba itu ditimbang dengan ibadah yang selama 500 tahun non stop tersebut. Di luar dugaan dan bahkan Malaikatpun kaget karna ibadah yang sedemikian lamanya tidak mampu mengimbangi nikmat sepasang mata!!, ketika akan dilanjutkan kepada anggota tubuh yang lainAllah berfirman:
“Cukup wahai Malaikat Ku!!..itu sudah cukup sebagai bukti , sekarang seret hamba-Ku ini ke neraka! siapkan tempat di neraka untuknya!”
Mendengar perintah ini para malaikat penjaga neraka dengan segera merespon dengan angker dan wajah-wajah tak kenal ampun menyeretnya ke neraka, tiba -tiba dia berteriak dan memohon dengan memelas:
“Masukkan aku ke syurga Mu dengan rahmat -Mu wahai Tuhan-ku!”
Para Malaikat yang telah menyeretnya demi mendengar permohonan  yang disertai kata-kata “dengan rahmat-Mu” menjadi bimbang..mungkin ini sebuah password bagi mereka.Akhirnya para malaikat kembali membawa hamba ini ke hadapan Tuhan. Untuk memberi pelajaran kepada si hamba Allah menginterogasi kalau-kalau dia hanya sekedar mengelabu para malaikat.
“Siapa yang menciptakan kamu?” Tanya Tuhan.
“Engkau wahai Gusti” Jawabnya.
“Apakah itu karna amalmu atau rahmat-Ku?’Tanya Tuhan.
“Karna rahmat-Mu wahai Gusti.”Jawabnya memelas
“Siapa yang memberimu kekuatan untuk beribadah 500 tahun di puncak gunung yang dikelilingi oleh air lautan yang asin sedangkan siapa yang  memberimu air tawar dan menumbuhkan untukmu pohon delima delima yang berbuah setiap hari padahal pohon delima pada umumnya hanya berbuah setiap  tahun sekali dan siapa pula yang mengambil rohmu di kala kamu bersujud?” Tanya Tuhan.
“Engkau wahai Gusti.”Jawabnya memelas.
” Itu semua karna rahmat-Ku dan dengan rahmat-Ku pula masuklahkamu  syurga!” Firman Allah yang disambut sukacita oleh malaikat penjaga syurga dan dimasukkanlah hamba tadi ke dalam syurga setelah melewati drama yang cukup menegangkan karna resikonya teramat fatal. Berbeda dengan kisah drama di dunia setelah adegan kematian , sang aktor bisa kembali tertawa setelah pengambilan gambar dihentikan.
Pembaca  yang budiman!!, banyak sekali orang yang merasa lebih baik ibadahnya dari yang lain sampai mengecap orang lain sesat atau bahkan merusak tempat ibadah mereka, merusak rumah -rumah mereka. Mereka lupa bahwa dengan ibadah yang melampaui 500 tahun tanpa kemaksiatan pun tak bisa membeli harga syurga, mereka lupa bahwa ibadah yang melampau 500 tahun tanpa kemaksiatanpun tak bisa melebihi nikmat sepasang mata!! satu yang bisa membeli harga syurga yakni “Rahmat” Allah” kasih sayang-Nya yang digapai dengan ibadah yang dibarengi dengan sifat ketawadluan ,rendah diri dan menjauhkan diri dari dengki.  Bukankah iblis lebih dekat kepada Allah ketimbang para Malaikat sebelum perintah agar bersujud kepada Adam?? yang dengan sombong menolak perintah ini karna merasa lebih baik ibadahnya. Mari kita  berlindung kepada-Nya dari semua ini.
Dinarasikan kembali oleh ;
Nurkholis Ghufron

Thursday, August 23, 2012

GNB di Teheran: Antara SBY dan Ban Kii Moon.


Jauh hari sebelum acara konfrensi Non Blok digelar di Teheran pada akhir Agustus ini , Iran sudah mengutus Wapresnya Ebrahim Azizi untuk mengundang secara langsung presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono agar menghadiri konfrensi negara-negara yang tidak menganut blok manapun.
Berbeda dengan dengan pemimpin Indonesia, beberapa pemimpin kelas dunia sudah memutuskan untuk menghadiri acara tersebut seperti Korut,India, Mesir dan bahkan sekjen PBB Ban Kii Moon. Sikap pemimpin Indonesia tak ubahnya seperti dalam menghadapi hal hal krusial dalam negri yang selalu “loading”  (istilah per-hp-an). Loading ini akan bertambah parah mana kala disusupi pertimbangan yang bisa mencederai hubungan baik dengan sang Paman, Sam. Padahal undangan ini sudah disampaikan secara langsung pada  hari Jumat, 22 Juni 2012 , seharusnya sudah dapat memutuskan tentang kehadiran dan tidaknya hari hari kemarin sebelum pemimpin negara lain memutuskan karna Indonesia nampaknya mendapat perlakuan khusus dari Iran dan kabarnya staf-staf yang akan meningkatkan hubungan bilateral juga sudah disiapkan oleh Iran.
Berbeda dengan konfrensi GNB di tempat manapun di dunia yang mendapat sambutan hangat dari Amerika dan anak emasnya Israel, GNB kali ini mendapatkan sorotan serius dari kedua negara ini  yang tidak menginginkan Iran mendapat angin segar untuk menuai dukungan atas program nuklir dan segudang masalah yang dihadapi Iran karna aksi sepihak yang dimotori oleh dua negara ini.
Meski kental dengan rivalitas sengit , keputusan mengejutkan datang dari Sekretaris Jendral PBB Ban Kii Moon yang akan menghadiri KTT ini keputusan  mana menjadikan Israel dan Amerika kebakaran jenggot. Tentangan sangat keras datang dari Netanyahu , perdana mentri Israel yang mengusuh dalih bahwa Iran tidak mengakui adanya Holocaust dan bahkan menyangkal keberadaan Israel. Namun Ban menolak dalih Israel tersebut bahwa t idaklah bijaksana untuk tidak menghadiri KTT ini karna Iran adalah anggota organisasi International yang dipimpinnya dan tidak menghadiri KTT ini bukanlah pilihan yang tepat
Tak bisa dipungkiri, Iran memang menaruh harapan besar  kepada Indonesia untuk sama-sama menjadi pioner dalam menghadapi hegemonitas Amerika dan ketidakadilan yang dimainkannya di kancah dunia. Beralasan pada beberapa kesamaan latarbelakang agama dan budaya serta sama-sama menjadi founding fathernya GNB yang membidani kelahirannya di kala perseteruan blok barat dan timur memanas pada beberapa dekade sebelum era Millenium, hal ini tidaklah berlebihan. Justru akan terdengar aneh jika menjadi pengekor salah satu blok sedangkan keikutsertaan di dalam GNB tidak ditanggalkan sehingga identitas menjadi jelas “totally inside or outside”.
Di luar memanasnya pro dan kontra GNB kali ini , yang pasti akan menjadikan Amerika dan Israel panas dingin sambil melihat detak jam agar hari-hari dilaksanakannya KTT ini cepat berlalu agar sesak di dada pempimpinnya ini terlepas bebas.
Beyond that..keputusan SBY untuk hadir dan tidak akan memperjelas “loading”itas yang selama ini selalu menjadi tontonan yang membosankan.
Nurkholis Ghufron

Friday, August 17, 2012

Iranian Tomcat


he first and only country to receive F-14 Tomcat was, The Nirouyeh Havaiyeh Shahanshahiye Iran, or Imperial Iranian Air Force.
Soviet MiG-25 Foxbat had regularly been flying unrestricted over Iranian territory, and IIAF had no mean of intercepting these high-speed intruders. Thus, the search for a new fighter/interceptor begun. Iranian pilots were virtually flown and tested every fighter available at the time including MiG's (some done secretly in other countries). The final report which indicated pro's and con's of each fighter suggested the F-14 Tomcat and F-15 Eagle as the best fighters. In August of 1973, the IIAF selected the F-14 Tomcat ( From 1970 Iraq was in contact with French government to equip their Air Force with Mirage F-1, this was another factor for IIAF to choose F-14 and start planning for purchase, operation and training for F-14). The initial order signed in January of 1974 covered 30 Tomcats, but in June 50 more were added to the contract.At the same time, the Iranian government-owned Bank-e-Melli stepped in, and agreed to loan Grumman $75 million to partially make up for a US government loan of $200 million to Grumman, which had just been cancelled. This loan save the F-14 program and enabled Grumman to secure a further loan of $125 million from a consortium of American banks, ensuring at least for the moment that the F-14 program would continue. Thanks to Bank-e-Melli.

The Iranian Tomcats were virtually identical to the US Navy version, with only a few classified avionics items being omitted. The base site for Iranian Tomcat operations was at Isfahan’s (Khatami Air Force Base) and 1 Squadron at Shiraz Tactical Fighter Base. Imperial Iranian Air Force aircrews began to arrive in the USA for training in May of 1974,The crew were mainly veteran F-4 pilots.
The first 4 pilots who came to "Miramar Naval Base" in California for F-14 training were:
General Abdolhosain Minousepehr (Commander of Khatami AFB).
Major Mojtaba Zangeneh
Major Mohammad Farahawar
Capt. Kazem Heidarzadeh
Shortly after, the second group went to "Oceana Naval Base" in Virginia. They were:
Capt. Jamshid Afshar.
Capt. Hosein Taghdis.
Capt. Hassan Afghantoloee.
Capt. Jalil Moslemi.
Capt. Abolfazl Hooshyar.
Capt. Reza Attaee.
Capt. Bahram Ghaneii.
Capt. Mohammad Pyrasteh.
Capt. Abbas Amiraslani.
Capt. Shahram Roostami.
Capt. Javad Shookraii.
After completion of F-14 training in USA they became F-14 Instructor pilots. After returning to Isfahan they started training the rest of the pilots with the cooperation of 4 American F-14 Instructors which was part of contract.
Major Farahawar flew one of the F-14 from USA to Iran.
Major Zangeneh was the Iranian pilot who tested the "Phoenix" missile in USA.
(The Islamic regime purged all of them from Air Force, except "Rostami" and "Attaee" .)

The Iranian Tomcats were fairly late on the production line, and were therefore delivered with the TF30-P-414 engine, which was much safer than the compressor-stall-prone P-412 engine. The first 2 of 79 Tomcats arrived in Iran in January of 1976. By May of 1977, when Iran celebrated the 50th anniversary of the Royal House, 12 had been delivered. At this time, the Soviet MiG-25 Foxbats were still making a nuisance of themselves by flying over Iran, and the Shah ordered live firing tests of the Phoenix to be carried out as a warning. In August of 1977, IIAF crews shot down a BQM-34E drone flying at 50,000 feet, and the Soviets took the hint and Foxbat over flights promptly ended.

The IIAF Tomcats bore the US Navy serial numbers of 160299/160378, and were assigned the IIAF serial numbers 3-863 to 3-892 and 3-6001 to 3-6050. The last of 79 Tomcats were delivered to Iran in 1978. The last Iranian Tomcat (BuNo 170378) was retained in the USA for use as a test bed. Iran also ordered 714 AIM-54A Phoenix missiles, but only 284 had been delivered at the time. Toward the end of the 1970s most suppliers were cancelled by the new government, including an order for 400 AIM-54A Phoenix missiles.

Imposition of a strict arms embargo against Iran by the West caused a severe spare parts and maintenance problem, with many pilots and maintenance personnel following the Shah into exile. As a result, by 1980 the Iranian Air Force was only a shadow of its former self. This embargo was to have an especially severe long-term effect on the Tomcat fleet, since the embargo prevented the delivery of any spares.

The Iran-Iraq war began on September 22, 1980 with an Iraqi air attack on six Iranian air bases and four Iranian army bases. It was followed by an Iraqi land attack at four points along a 700-kilometer front. Air power did not play a dominant role in the Iran-Iraq war. During the first phase of the war, Iranian aircraft had the fuel and the endurance to win most of these aerial encounters, either by killing Iraqi aircraft with their first shot of an AIM-9 sidewinder or else by forcing Iraqi fighters to withdraw. Iranian pilots had the edge in training and experience, but as the war dragged on, this edge was gradually lost because of the repeated purges within the ranks of the Iranian officers which removed experienced officers and pilots who were suspected of disloyalty to the Islamic regime. The Iranians could not generate more than 30-60 sorties per day, whereas the number of sorties that Iraq could mount steadily increased year after year, reaching a peak as high as 600 in 1986-88.

It is extremely difficult to get any reliable estimates of just how many Iranian F-14As were in service at any one time during the war, with planes having been deliberately cannibalized to keep some flying. In the summer of 1984, it is estimated that Iran could fly only 15-20 Tomcats, maintaining them largely by cannibalization. Very often, Tomcat served in a mini-AWACS role by virtue of their powerful radars and was deliberately not risked in combat.

The Iraqi high command had order all it's pilots not to engage with F-14 and do not get close if F-14 is known to be operating in the area. Usually the presence of Tomcats was enough to scare the enemy and send the Iraqi fighters back.

The Iranian F-14s scored most of their kills with AIM-54A Phoenix missiles during the war with Iraq losing only one Tomcat in combat when it got cut off-guard by a MiG-21 (Pilot "Ale Agha" and Rio...??. Lost their life).
Another Tomcat was lost due to loss of control when the aircraft entered in spin (Both pilot and RIO Ejected).
And a Ground to air missile hit another Tomcat over "Khark" island (Pilot was Capt. Hazin).
It is documented that Iranian F-14As have shot down Iraqi fighters, including Mirage F1s, SU-22, MiG-21, MiG-23, and MiG-25. An Iranian Tomcat scored a kill against an Iraqi Mirage F1 as late as the spring of 1988.

Iranian capabilities in this area may have taken place on February 11, 1985, when 25 Iranian F-14A Tomcats took a mass fly by over Tehran. In spite of the Western arms embargo, Iran been able to maintain a more-or-less steady supply of spare parts for its fleet of Tomcats, from Iranian aircraft industries based at 1st tactical air base in Tehran. The number of Tomcats in service with Iran is reported as many as 60 aircrafts. Some of these parts also seem to have been smuggled into Iran by Israel. Also there is rumor of Russians provided assistance to upgrade tomcats aging airframe. US government supplied arms to Iran in exchange for its assistance in getting hostages held in Lebanon released.

However, the AN/AWG-9 radar is certainly operational, and the Iranian Tomcats can fire AIM-9 Sidewinder and AIM-7 Sparrow missiles. Most Iranian Tomcats flew with a missile load of four Sparrows and two Sidewinders.

Rumors had been going about that Iranian F-14As had been fitted with the Russian made engine and ejection seat and has the capability to launch air-to-surface anti-ship missiles.

PERFORMANCE of Grumman F-14A Tomcat

Wing span: 19,45 m. (wings forward)

Wing span: 11,65 m. (wings swept)

Length: 19,10 m.

Height: 4,88 m.

Max. speed: Mach 2.34 (2517 km/h, 1564 mph.)

Empty weight: 39,310 lbs.(17830 kg.)

Max. weight: 74,348 lbs.(33724 kg.)

Power plant: two Pratt & Whitney TF30-P-414 afterburning turbofans

Thrust: 14,000 lbs.(6350 kg.) each

With Afterburner: 20,900 lbs.(9480 kg.) each

Iranian Tomcats Serials

160299 F-14A 3-863
160300 F-14A 3-864
160301 F-14A 3-865
160302 F-14A 3-866
160303 F-14A 3-867
160304 F-14A 3-868
160305 F-14A 3-869
160306 F-14A 3-870
160307 F-14A 3-871
160308 F-14A 3-872
160309 F-14A 3-873
160310 F-14A 3-874
160311 F-14A 3-875
160312 F-14A 3-876
160313 F-14A 3-877
160314 F-14A 3-878
160315 F-14A 3-879
160316 F-14A 3-880
160317 F-14A 3-881
160318 F-14A 3-882
160319 F-14A 3-883
160320 F-14A 3-884
160321 F-14A 3-885
160322 F-14A 3-886
160323 F-14A 3-887
160324 F-14A 3-888
160325 F-14A 3-889
160326 F-14A 3-890
160327 F-14A 3-891
160328 F-14A 3-892
160329 F-14A 3-8001
160330 F-14A 3-8002
160331 F-14A 3-8003
160332 F-14A 3-8004
160333 F-14A 3-8005
160334 F-14A 3-8006
160335 F-14A 3-8007
160336 F-14A 3-8008
160337 F-14A 3-8009
160338 F-14A 3-8010
160339 F-14A 3-8011
160340 F-14A 3-8012
160341 F-14A 3-8013
160342 F-14A 3-8014
160343 F-14A 3-8015
160344 F-14A 3-8016
160345 F-14A 3-8017
160346 F-14A 3-8018
160347 F-14A 3-8019
160348 F-14A 3-8020
160349 F-14A 3-8021
160350 F-14A 3-8022
160351 F-14A 3-8023
160352 F-14A 3-8024
160353 F-14A 3-8025
160354 F-14A 3-8026
160355 F-14A 3-8027
160356 F-14A 3-8028
160357 F-14A 3-8029
160358 F-14A 3-8030
160359 F-14A 3-8031
160360 F-14A 3-8032
160361 F-14A 3-8033
160362 F-14A 3-8034
160363 F-14A 3-8035
160364 F-14A 3-8036
160365 F-14A 3-8037
160366 F-14A 3-8038
160367 F-14A 3-8039
160368 F-14A 3-8040
160369 F-14A 3-8041
160370 F-14A 3-8042
160371 F-14A 3-8043
160372 F-14A 3-8044
160373 F-14A 3-8045
160374 F-14A 3-8046
160375 F-14A 3-8047
160376 F-14A 3-8048
160377 F-14A 3-8049 Remained in the U.S.A. for testing.

Copied from http://www.iiaf.net/aircraft/jetfighters/F14/f14.html


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...