Oleh: Emha Ainun Nadjib
Sumber: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/9891
Pak Kiai Gontor berkata kepada sekitar sepuluh ribu
penonton yang memadati lapangan pesantren, Minggu
malam 30 Juni 1991: "Sebentar lagi kita akan
menyaksikan beberapa acara kesenian. Ada rock band
santri, ada dangdut kemudian drama kolosal "Bani
Khidlir" dimana tiga ribu santri Gontor akan
seluruhnya ikut bermain. Kita tidak boleh kaget
menemukan kesenian dalam tradisi ummat Islam. Ini
bukan ijtihad atau tajribah alias eksperimen. Kita
sekedar penganut setia para kiai di masa silam. Dulu
di pesantren kita ini ada dua orang kiai yang berdebat
tentang hukum kesenian. Salah seorang dari mereka
bersikeras dengan pendapatnya bahwa kesenian itu
syirik bahkan haram. Kami para santri menyaksikan
perdebatan itu dengan hati berdebar-debar. Kebetulan
nun dari kejauhan terdengan suara musik dari
loudspeaker. Kiai yang saya kisahkan itu meledak-ledak
suaranya menyebut seni itu haram, tetapi kedua kakinya
bergerak-gerak mengikuti irama musik dari kejauhan …
Kami para santri melihat bahwa kaki beliau itu bukan
bergerak menggeleng-geleng, melainkan
mengangguk-angguk. Maka kami tiru anggukan ritmis kaki
Pak Kiai itu, sebab gerak kaki beliau itu lebih
merupakan ungkapan batinnya dibanding mulutnya.
Begitulah, selamat menyaksikan!"
Kemudian rock menggelegar. Vokal penyanyinya mengacu
pada suara pembaca Qur'an ulung Syech Abdul Basith bin
Muhammad Abdusshomad yang memang mirip lengkingan
serak Robert Plant. Saya tidak heran, sebab semangat
hidup dan dinamika keseharian para santri Gontor
memang selalu penuh tenaga rock. Saya juga tidak heran
bahwa selama musik melonjak-lonjakkan tubuh, darah dan
spririt batin sepuluh ribu orang itu, Pak Kiai
diam-diam merasa belingsatan.
Bukan apa-apa. Beliau sendiri adalah seorang pemusik
andal. Pasti "gatal" dia. Gus Dur, alias Kiai Durakman
Wahid, pernah bercerita kepada saya tentang Kiai
Gontor itu: "Dulu di Cairo dia sibuk main band
ketimbang kuliah di Al-Azhar."
Entah kapan ada baiknya dibentuk rock-band "The
Kiai's". Kakak misan beliau, yang berduet bersamanya
memimpin Pesantren Gontor saat ini, adalah juga
seorang pemain gitar ulung, penyanyi yang cengkoknya
boleh tanding lawan para gipsy Spanyol. Saya akan
usulkan agar mereka membuat album berjudul "Kapak
Ibrahim" yang menggambarkan semangat dan keberanian
bertauhid serta gegap gempita perlawanan terhadap
berhala-hala tradisional maupun modern.
Hanya saja harus dipikirkan masak-masak bagaimana
memperoleh izin kultural dari Umat Islam, Izin Syar'i
dari Majlis Ulama, sebelum izin Kepolisian, Ditsospol
dan Lembaga Cekal.
Gontor ini memang gawat. Sistem pematangan santrinya
solid, mobilitas kerjanya tinggi, keterbukaan bahkan
susah dibandingkan secara empirik dengan lembaga
pendidikan termodern yang manapun yang kita punya di
negeri ini.
Mereka sedang penuh 'isyiq memperingati delapan windu
kelahiran pesantrennya dengan sangat banyak macam
acara, melibatkan sangat banyak orang pandai, serta
meminta biaya milyaran rupiah. Saya adalah "setitik
debu" yang ditugasi untuk ikut ngomong dalam salah
satu seminar serta mengorganisasikan pementasan drama,
meskipun akhirnya tak mungkin saya tangani sendiri
karena saya memang sama sekali bukan sutradara teater.
Saya kober-koberkan menulis naskah "Bani Khidlir",
yang 50 persennya saya kirim pertiga halaman melalui
faksimil sekitar lima enam hari menjelang pementasan
kolosal itu. Panik bukan main saya. Betapa mungkin 60
aktor muallaf dan 3.000 figuran menyiapkan pentas
kolosal serius ditonton ribuan orang hanya dalam waktu
beberapa hari.
Tapi untunglah Agung Waskito, "sutradara kiriman" dari
Yogya tergolong maestro, seperti ketika sebelumnya ia
sukses mengorganisasikan 176 aktor aktris darurat dari
daerah Madiun untuk pentas "Lautan Jilbab" di depan
35.000 penonton selama dua malam berturut-turut.
Heran bukan main bahwa pementasan itu bisa berjalan
sukses. Semula saya anggap itu mukjizat, tapi kemudian
saya tahu itu wajar-wajar saja untuk Gontor.
Faktornya: etos kerja para santri itu luar biasa,
organisasinya rapi, profesionalitas kerjanya mumpuni,
dan sistemnya tepat.
Mereka terbiasa kerja keras dan rapi sejak jam 04.00
pagi hingga jam 22.00 malam. Dan untuk mempersiapkan
drama ini mereka berlatih sejak usai Subuh hingga jam
07.00, dilanjutkan jan 08.00 sampai jam 12.00,
dilanjutkan jam 14.00 sampai jam 17.00, dilanjutkan
jam 20.00 sampai 00.00. Itupun dengan disiplin dan
pola kerja sama yang ketat. tak usah dipimpin, kerana
pola hubungan kerja mereka adalah suatu kepemimpinan
yang efektif. Kalau ada yang telat dua menit, otomatis
lingkungan akan menghukumnya langsung: entah push up,
entah lari keliling lapangan, atau dituntut agar
kualitas penampilan keaktorannya meningkat ganda.
Pantas naskah darurat itu yang saya cicil itu mereka
lalap hanya dalam beberapa hari. Tapi main drama kan
tak gampang: Kau bisa saja hafal naskah, tapi sebagai
pemula kau akan mengucapkan seperti "berdeklamasi"
atau 'seperti orang main drama".
Hal itu terjawab oleh tradisi muhadlarah para santri.
Seminggu tiga kali mereka berlatih berpidato dan
berdiskusi dalam bahasa Indonesia, Inggris dan Arab.
Artinya, naluri komunikasi mereka terlatih. Jadi,
meskipun qua-artikulasi, intonasi atau sisi teaterikal
mereka adalah "berkomunikasi", bukan "bermain drama".
Maka setiap untaian kata dan gerak mereka jernih
gamblang dalam tangkapan penonton.
Mungkin juga ditambah "pertolongan" dari naskah bahwa
tokoh-tokoh dalam lakon "Bani Khidlir" itu karib
dengan dunia para santri maupun masyarakat sekitar.
Kiai Tegalsari, Syech Jangkung, Ki Juru Martani,
Jebeng Sutawijaya, Warok Wongso Jolego yang memang
ngetop saat ini di Ponorogo, Raden Mas Kalong,
Tumenggung Karang Gumantung, Santri Sukijing, Santri
Sujiman dan lain-lain. Anda kan tahu nama asli orang
daerah Ponorogo itu gawat-gawat: Pak Gudel, Kang Jalu,
Mbok Ugu, Mas Cikrak, dan seterusnya.
Apa sebenarnya terutama yang akan saya ceritakan? Di
samping soal etos kerja, kepemimpinan sistem dan
tingkat mobilitas kaum santri; juga bahwa saya
menjumpai "aktor-aktor kehidupan". Para pemeran dalam
suatu skala besar drama kehidupan di "Negeri Gontor".
Mereka bukan andalan-andalan etalage estetik seperti
yang Bengkel Teater, Gandrik atau teater mandiri
memilikinya. Mereka hanyalah anak-anak manusia yang
siap merespons fungsi-fungsi positif bagi komunitas
mereka.
Sebanyak 60 pemain itu, apalagi 3.000 santri yang ikut
menari dan koor Puisi Abu Nawas bukanlah aktor seperti
yang tata nilai kesenian dan kebudayaan modern
memahaminya. Sebab peristiwa pentas malam itu hanya
sebuah terminal kecil di tengah banyak kerja mereka
yang lain: menjalankan demokrasi pondok, usaha
kewiraswastaan, integrasi sosial ekonomi dan sosial
budaya dengan penduduk sekitar. Mereka memang juga
tidak bercita-cita menjadi "aktor top" yang kelak
meraja lela di ibu kota, meskipun sesudah pentas di
lapangan Gontor itu Pemuda Jatim di Surabaya meminta
mereka untuk menggelar "Bani Kidlir" di Islamic Center
Surabaya akhir Juli ini.
Mereka "sekedar" pejalan kebudayaan, pejalan fungsi
kebersamaan, pekerja gairah hidup dan kejujuran.
Mereka insya Allah tak akan dicatat di Buku Kesenian,
tapi mungkin bisa jadi footnote di buku kebudayaan dan
kemasyarakatan.
Yang belum mereka jalankan, di bidang itu, adalah
festival Baca puisi rutin seperti yang di zaman
rRasulullah Muhammad selalu diselenggarakan di sekitar
Ka'bah.
Ketika seorang Sahabat Rasul melonjak kegembiraan
seusai mendengar firman Allah melalui Nabi-Nya, tak
sengaja ia lantas bernyanyi-nyanyi, bahkan
menari-nari. Dan Muhammad tersenyum memandanginya.
Jadi, kalau festival puisi itu diadakan, percayalah
para Kiai yang paling anti-kesenianpun akan
"mengangguk-anggukkan kakinya". Apalagi tiap senja
hari ribuan santri Gontor senantiasa memperdengar
puisi "nakal" Abu Nawas di Masjid mereka.
No comments:
Post a Comment
Jangan Lupa Berilah Komentar!!
Trimakasih atas kunjungannnya.