Translate This

->

Tuesday, April 24, 2012

Semangat Gontor Pada sebuah Film


Semua semangat, tekad, keberanian, keihklasan Gontor (yang di film dan di novel disebut Pondok Madani) di dasari pada dua senjata pamungkas di pondok ini. Panca Jiwa dan Motto pondok Modern. Bagi Gontor, dua hal tersebut ibarat UUD 1945 dan Pancasila bagi bangsa ini. Kedua hal tersebut adalah semboyan yang menjiwai dan menjadi semangat hidup Pondok Modern. Panca jiwa Pondok Modern berisi lima hal. keihkhlasan, kesederhanaan, berdikari, ukhuwah Islamiyah, dan jiwa bebas. Sementara motto pondok modern adalah berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas dan berpikiran bebas.

Film ini seperti pada novelnya, mengambil satu semangat saja dari Gontor, yaitu semangat kerja keras, Man Jadda WaJada. Namun, walaupun hanya berfokus pada satu semangat saja, sepanjang film ini sebenarnya diperlihatkan juga secara tersirat semangat-semangat lain yang tertuang dalam panca jiwa dan motto pondok modern diatas. Saya ingin memperlihatkan dimana cuplikan-cuplikan dalam film ini yang mereprentasikan Panca Jiwa dan Motto Pondok modern yang saya maksud.

Gambaran panca jiwa dan motto pondok modern dalam adegan film

Semangat pertama adalah keihklasan. Di film digambarkan ketika Alif bertanya pada ustad Rois dan salah satu ustad yang mengajar tentang berapa gaji yang dibayarkan pondok kepada ustad-ustadnya, maka jawab sang ustad, ‘disini semua ustad tidak mendapatkan gaji, pondok ini menjadi lahan perjuangan bukan lahan penghidupan’. Dari dialog tersebut terlihat bahwa semua hal yang dilakukan oleh para santri dan ustad hanya berdasarkan keihklasan semata. Selain itu, terlihat juga betapa beratnya ketika ustad Salman hendak pergi meninggalkan pondok demi mengejar urusan pribadinya, adakah tempat dimana orang yang bekerja 24 jam tanpa gaji lalu menangis ketika hendak keluar dari tempat dia bekerja ?

Semangat yang kedua adalah kesederhanaan. Tidak perlu banyak kata untuk menjelaskan hal ini, semua nyata terlihat di sepanjang film. Asrama santri yang terlihat di film jelas sangat sederhana, lemarinya hanya berupa kotak kayu tak seberapa besar, mereka tidur diatas lantai dengan alas kasur tipis saja. Santri bahkan menggunakan bak air untuk membuat susu dan mengaduknya dengan sebatang kayu, serta minum bukan dari gelas tapi dari piring. Begitu pula ruang kelas yang ditunjukan, pakaian-pakaian yang dikenakan santri dan ustad, Semuanya serba sederhana tidak tampak menunjukan adanya perbedaan kelas yang mencolok.

Berikutnya adalah semangat berdikari. Cuplikan pada film yang menunjukan bagaimana santri harus mandiri dalam menjalani kehidupannya adalah ketika, keenam sahabat itu berlarian membawa lemari kayu mereka sendiri, melintasi bagian disiplin yang sudah menunggu untuk menghukum mereka karena terlambat. Begitu juga ketika mereka harus mencuci sendiri baju yang mereka kenakan. Dan yang paling kental adalah ketika Ustad Rois membeli perangkat diesel untuk menyalakan listrik, Ustad Rois menyerahkan mobil sebagai jaminan bukan sebagai tanda hutang, hal ini menunjukan bahwa Gontor sebisa mungkin tidak menggantungkan dirinya pada bantuan dan hutang pada orang lain.

Ukhuwah Islamiyah ditunjukan pada eratnya persaudaraan antara keenam sahabat itu. Ada satu momen menyedihkan ketika sang penghafal Alqur’an, Baso, harus meninggalkan pondok demi menjada neneknya yang sedang sakit. Semua tampak kehilangan. Begitu pula hubungan antara ustad dan santri, yang terlihat dari eratnya hubungan antara ustad salman dan alif, juga ketika keenam sahabat itu hendak mengajukan protes kepada ustad Rois, mereka semua diterima dengan baik seperti layaknya saudara.

Panca jiwa terakhir adalah berjiwa bebas. Gontor tidak mengekang santri-santrinya untuk berkreasi. Disana semua hal yang mendorong kreasi santrinya dibebaskan, hanya saja tetap mengacu pada syariat Islam. Bahkan seorang ustad Rois yang begitu dihormati adalah seorang pemain band yang handal, ini terlihat ketika sang Ustad memainkan lagu ‘smoke in the water’ dengan sebuah gitar di studio band milik pondok. Di bagian akhir film ditunjukan juga pertunjukan berupa breakdance yang mungkin membuat beberapa orang akan mengernyitkan dahi, memikirkan betapa mustahilnya sebuah pondok pesantren membolehkan santrinya untuk belajar nge-dance. Dan di gontor semua itu tidak mustahil. Gontor juga membebaskan para santrinya untuk menjadi apa saja setelah lulus nanti. Itu terlihat ketika di ending, keenam sahabat itu menjadi orang dengan bermacam-macam profesi.

Gambaran tentang motto berbudi tinggi terlihat ketika keenam sahabat itu dengan ikhlas menerima hukuman yang diberikan oleh Tyson. Meskipun sebenarnya mereka tidak berhak mendapatkan hukuman itu sebab mereka adalah santri baru, tapi mereka tetap melaksanakannya karena menyadari sebagai seorang santri mereka harus menghormati aturan dan penegak hukum di pondok. Begitu pula ketika adegan protes yang dilakukan oleh Atang kepada Ustad Rois. Atang memperlihatkan bagaimana seharusnya protes dilancarkan dengan cara yang santun. Juga ketika Ustad Rois berkata, ‘ketika kamu siap memimpin, kamu juga harus siap untuk di pimpin’. Seorang yang berbudi tinggi tidak melulu merasa dirinyalah yang paling mampu untuk memimpin, tapi juga harus selalu rendah hati, menyadari posisinya yang suatu saat bisa saja menjadi bawahan yang dipimpin.

Di film diperlihatkan suasana santri-santri yang sedang berlari pagi memutari lapangan bola yang cukup luas, juga scene dimana orang ramai-ramai bermain bulu tangkis di GOR. Gambaran olahraga-olahraga itu merupakan representasi dari motto kedua, yaitu berbadan sehat. Yang paling menarik adalah ketika keenam sahabat itu dibantu oleh Ustad Salman untuk membujuk Ustad Toriq menayangkan siaran langsung bulu tangkis, mereka mengatakan bahwa menonton pertandingan olahraga juga merupakan pendidikan.

Masih ingat ketika di awal Alif menginjakan kaki di Pondok Madani. Ketika Ustad Rois berpidato di hadapan semua santri. Sang Ustad mengatakan, bahwa di pondok modern tidak hanya diajarkan ilmu-ilmu agama saja, tidak hanya diajarkan bagaimana cara membaca kitab saja, namun juga diajarkan kemasyarakatan, ilmu pengetahuan, organisasi dan tentu saja dua bahasa penting dunia, arab dan inggris. Dari situ kita bisa menarik kesimpulan betapa luasnya ilmu yang dipelajari oleh para santri pondok madani.

Gambaran berjiwa bebas sudah saya perlihatkan di bagian sebelumnya. Sehingga rasanya tidak perlu lagi saya jelaskan.

Kesimpulan dari segala penjelasan saya diatas adalah, Gontor bisa menjadi besar, dan menelurkan orang-orang besar sekelas, Hazim Muzadi, Dien Syamsuddin, Emha Ainun najib, Nurcholis Majid, Hidayat Nurwahid, dan tentunya Ahmad Fuadi tidak lain karena semangat-semangat yang menjadi jiwa dan motto mereka tidak hanya terpapang pada tulisan diatas papan saja, namun juga direalisasikan dalam setiap jengkal kehidupan di dalam pondok pesantren.

Sukses untuk film Negeri Lima Menara.

No comments:

Post a Comment

Jangan Lupa Berilah Komentar!!
Trimakasih atas kunjungannnya.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...