Translate This

->

Wednesday, April 11, 2012

Tak Kenal Maka Tak Sayang: Gontor , Pendidikan untuk Khoiru Ummah


Aula Gontor
Iwan Fals Manggung di Gontor
Siswa Kelas 6 Akhir Tahun
Gedung Saudi Pada Malam Hari, difoto dari Depan Kediaman Pak KH. Syukri Zarkasyi
Film Negri Lima Menara Yang Fenomenal itu
Para Santri berpose di depan Masjid Gontor
Santri Gontor Putri






Tanggal 10 Oktober ini, Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor, Ponorogo (Jatim) genap berumur 70 tahun. Pondok ini memberikan kontribusi besar bagi pengayaan khazanah budaya dan sistem pendidikan di Indonesia. Didukung koperasinya, pondok ini relatif mandiri dalam pendanaan. Yang pasti pula, tetap steril terhadap politik. Wartawan Kompas Anwar Hudijono menuangkan laporannya pada tiga tulisan di halaman Politik. PADA suatu hari KH Imam Zarkasyi berdoa dengan sangat khusyuk," Ya Allah, kalau kiranya perguruan yang saya pimpin ini tidak memberikan faedah kepada masyarakat, lenyapkanlah dari pandangan mata saya dengan segera."
Yang pasti Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponorogo (Jatim) sampai berumur 70 tahun pada tanggal 10 Oktober nanti bukan lenyap malah semakin kuat jati dirinya, dan berkembang pesat dengan 3.200 santri - sesuai kapasitas maksimal. Santri pondok berasal dari seluruh Indonesia bahkan dari luar negeri, antara lain Somalia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Australia. Para santri diasuh lebih 200 ustadz (guru), sebagian besar bergelar master lulusan luar negeri seperti Mesir, Arab Saudi, Pakistan.

Di atas tanah 8,5 hektar itu berdiri mesjid utama dua lantai yang menampung sekitar 4.000 jemaah. Berderet bangunan gedung sekolah, asrama, perpustakaan, aula dan perkantoran yang minimal dua lantai. Kini juga berdiri kompleks pondok kedua seluas dua hektar di Siman, selain kampus baru Institut Studi Islam Darussalam (ISID) di atas tanah lima hektar dengan deretan gedung berlantai tiga.

Aset pondok lainnya adalah 25 unit usaha yang dikelola oleh Koperasi La Tansa, antara lain berupa penggilingan padi, toko buku, apotek, balai kesehatan, toko, depot bakso, warung ayam panggang, Wartel, dan usaha pertanian di atas tanah wakaf seluas lebih dari 250 hektar.

Dalam perkembangan dibangun pondok khusus santri putri di Mantingan, Kabupaten Ngawi - 1.280 orang santri. Pondok putri memiliki dua cabang - Pondok Modern Darul Ma'rifah di Kediri dan Darul Muttaqin di Banyuwangi.

Pondok Gontor berkembang berdasar rencana induk "Panca Jangka" meliputi pendidikan dan pengajaran, sarana dan prasarana, sumber pembiayaan, kederisasi dan kesejahteraan keluarga. "Karena itulah perkembangan pondok modern bisa kontinyu," tulis Habib Chirzin, tokoh Muhammadiyah alumnus Pondok Pesantren Gontor.

Untuk menjamin arah yang pasti, keutuhan sistem, memandu setiap langkah gerakan atau menjadi etos kedirian, Pondok Gontor memiliki "Pancajiwa": keihlasan, kesederhanaan, mandiri, ukhuwah Islamiyah, dan kebebasan. "Mengapa para ustad mau mengajar dan mengurus koperasi padahal tidak digaji? Semua ini karena ikhlas. Di sini orang merasa berjasa saja pasti akan terpental karena itu bukti kurang ikhlas," ujar Muhammad Almighwar, ustad asal Lampung.

Perkembangan pondok bukan cuma dalam hal fisik. Ada yang lebih berarti dan memberikan kontribusi yang besar bagi umat, masyarakat serta bangsa. Hadirnya 135 pondok alumni yaitu pondok model Darussalam Gontor yang dikembangkan oleh sebagian dari sekitar 18.000 alumni.

Sistem Gontor telah menjadi fenomena dalam khazanah dunia pendidikan Indonesia. Kehadirannya layak disejajarkan dengan Muhammadiyah, Taman- siswa. Sosialisasi sistem Gontor bukan cuma melalui pondok alumni, tapi juga karena diadopsi oleh pondok pesantren lainnya, keseluruhan atau sebagian.

Contoh saja, pondok pesantren dengan menggunakan sistem klasikal, mengutamakan pelajaran bahasa Arab dan Inggris, mengajarkan pelajaran umum di samping pelajaran agama Islam dengan mengacu pada kitab-kitab kuning (kitab standar pesantren), semua itu diintrodusir oleh Gontor. Diterimanya pakaian celana di lingkungan pesantren juga berasal dari Gontor walau pada mulanya sangat dikritik kalangan pesantren salaf (tradisional). Demikian pula pengembangan koperasi pesantren, Gontor telah puluhan tahun lalu mengembangkannya.

Kontribusi lain yang tak kalah pentingnya adalah pengembangan sistem budaya di kalangan santri dan umat Islam. Dr Nurcholish Madjid, alumnus Gontor, menunjuk kebebasan berpikir dan sikap toleransi sebagai kontribusi besar. Dalam kebebasan berpikir itulah alumni Gontor terus terpanggil melakukan ijtihad (pembaruan), tidak mudah terpola secara jumud (lamban). Sekaligus mendobrak tradisi sami'na wa atha'na (mendengar dan patuh) pada kiai. "Sami'na wa atha'na para santri adalah kepada aturan, sistem pondok modern. Santri tidak dididik mengkultuskan individu, sekalipun itu kiainya," ujar Amal Fathullah Zarkasyi MA, anggota Dewan Wakaf Gontor.

Gontor telah memberi makna bagi masyarakat sekitarnya. Bupati Ponorogo Markum Singodimejo mengakui, Gontor membawa Ponorogo go internasional. Mengalirnya uang ke Ponorogo melalui kiriman untuk para santri ikut mendinamisasi perekonomian dan menambah pendapatan warga sekitar pondok. Pemda bisa bekerja sama untuk pelbagai macam kegiatan pelatihan. Sumbangan paling nyata, Gontor menyumbagkan sumber daya manusia yang menjadi pionir pembangunan.

*** PONDOK modern Darussalam didirikan tiga bersaudara masing-masing KH Ahmad Sahal, KH Zainudin Fanani dan KH Imam Zarkasyi yang kemudian dikenal dengan istilah "Trimurti". Gagasan pendirian pondok bermula dari Kongres Umat Islam di Surabaya (1926). Kongres memutuskan untuk mengirim wakilnya pada pertemuan Umat Islam di Mekah. Utusan yang dikirim harus mampu bahasa Arab dan Inggris. Ternyata untuk mendapatkannya susah. Akhirnya disepakati mengirim tokoh Sarekat Islam (SI) H Omar Said Cokroaminoto yang cakap berbahasa Inggris, dan KH Mas Mansyur dari Muhammadiyah yang mumpuni bahasa Arab.

Sejak peristiwa itu di benak pemuda Ahmad Sahal berkecamuk permasalahan. Mengapa mencari orang yang mumpuni bahasa Arab dan Inggris sekaligus susah? Mengapa kita tidak mendidik anak yang mumpuni dua bahasa tersebut? Ide ini ia diskusikan dengan kedua adiknya, Fanani dan Zarkasyi.

Dari sanalah muncul gagasan menghidupkan kembali pondok pesantren ayahnya, Kiai R Santoso Anombesari yang sudah lama vakum. Walaupun mereka dididik di pesantren salaf, tetapi format gagasannya lebih berorientasi pada luar negeri. Pondok yang dikembangkan adalah hasil sintesa antara Universitas Al Azhar Kairo (Mesir), Pondok Syanggit di Afrika Utara, Universitas Aligchar di India dan Taman Pendidikan Shantiniketan di India.

Al Azhar dan Syanggit merupakan benteng pertahanan kebudayaan dan pendidikan Islam yang memiki wakaf besar bahkan memberi bea belajar para mahasiswanya. Aligchar cakap dalam usaha modernisasi ajaran Islam yang sesuai dengan tuntutan masyarakat dan zaman. Shantiniketan - didirikan Rabindranath Tagore - mampu mengembangkan sistem kebudayaan, kesederhanaan, kekeluargaan dan kedamaian. Nama daarussalaam (tempat damai dan selamat) juga diilhami oleh makna shantiniketan.

"Trimurti" tidak langsung memproklamasikan lembaga pendidikannya sebagai pondok modern. Istilah modern, menurut Ali Syafifullah MSc, dosen IKIP Malang, yang pernah meneliti Gontor, diberikan oleh masyarakat karena pola institusi, sistem pendidikan dan pengajaran serta banyak segi yang menunjukkan perbedaan dengan pesantren salaf.

Misal, sejak awal tidak menggunakan sistem pengajaran wetonan (massal) dan sorogan (individual) pada galibnya pesantren salaf melainkan sistem pengajaran klasikal. Para santri dididik dan diajarkan pada madrasah (sekolah) yang disebut Kuliyatul Muallimin Al-Islamiyah (KMI). KMI berjenjang dari kelas 1 sampai 6 setaraf SMTP dan SMTA. Kini santri kelas enam bisa mengikuti ujian persamaan dengan madrasah aliyah di bawah Departemen Agama. Tetapi sebenarnya ijazah KMI sendiri ditanggung bisa masuk perguruan tinggi di seluruh negara Islam. Ijazah aliyah untuk keperluan meneruskan ke perguruan tinggi umum di Indonesia saja.

Sejak awal, peraturan pondok mengharuskan santri bercelana panjang, ustad berdasi bahkan berjas. Sarungan yang menjadi pakaian "wajib" di pesantren salaf, bagi Gontor lebih banyak digunakan untuk salat sekalipun juga bukan pakaian wajib.

Perbedaan sangat mendasar adalah pada pola pengelolaan pondok. Pada pesantren salaf, kiai adalah pengasuh sekaligus pemilik pesantren. Di sini kiai sebagai figur sentral yang menentukan segala-galanya. Maka hampir setiap pesantren dikelola dengan sistem "dinasti".

Pondok modern dikelola secara wakaf. Semua aset milik umat. Lembaga kekiaian bukan personifikasi pada seorang kiai, melainkan pada Badan Waqaf yang beranggota 15 orang. "Badan Waqaf ini semacam legislatif yang menentukan arah dan garis-garis pondok modern," kata Amal. Anggota badan ini dipilih oleh pendiri berdasar kriteria moral dan spiritual.

"Trimurti" tidak pernah merekayasa atau menghendaki suksesi berdasar garis keluarga. Jika ada anggota badan yang wafat pengisiannya ditentukan oleh seluruh anggota badan. Sebagai ketua Badan Waqaf, H Hadi'in Rifa'i dari Kediri, alumnus Gontor. Anggotanya antara lain Kafrawi Ridwan MA, mantan Dirjen Departeman Agama, dan KH Idham Chalid.

Badan Waqaf ini memilih tiga kiai yang menjadi "mandataris", yang melaksanakan penyelenggaraan pondok modern. Mandataris dipilih untuk jangka waktu lima tahun dan kemudian masih bisa dipilih kembali. "Trimurti II" sekarang adalah KH Shoiman Lukman Hakim, santri generasi pertama, KH Abdullah Syukri Zarkasyi, putra pertama KH Imam Zarkasyi dan KH Hasan Abdullah Sahal, putra KH Ahmad Sahal.

*** PONDOK Gontor adalah penganut ahlus-sunnah wal jamaah seperti pada umumnya pesantren salaf. Kitab-kitab yang diajarkan hampir seluruhnya kitab standar pesantren, seperti Ihya Ulumuddin Imam Al Ghazali, Minhajut Thalibin An-Nawawi, Tuhfah Ibnu Hajar. Meski juga ada yang sudah ditinggalkan Gontor seperti Fathul Qarib Syarh Matam Taqrib Ibnu Qasyim Alghazi yang di pesantren salaf jadi kitab wajib.

Hanya bedanya, Gontor tidak mendoktrinasi santrinya agar menjadi penganut mazhab tertentu. Ini berbeda dengan pesantren salaf yang sejak awal mengharuskan santrinya menjadi pemeluk ahlus-sunnah wal jamaah itu pun pada mazhab Syafi'i untuk ilmu fiqih (hukum) dan Alasy'ari serta Almaturidzi untuk bidang ilmu tauhid, dan Abdul Qadir Jaelani bidang tasauf/tarekat.

"Gontor tidak mendikte santrinya menjadi pemeluk mazhab tertentu, semua mazhab diajarkan. Setelah mengetahui para santri dipersilakan memilih," kata Amal yang lulusan Universitas Kairo.

Gontor mengembangkan pola pikir ontologis di samping sikap religius. Cirinya antara lain, pemikiran terhadap suatu obyek diarahkan kepada pencarian hakikatnya. Pendidikan dalam pola pikir demikian bersifat intelektualistis, berpikir berdasar obyek murni.

Peranti ijtihad telah diberikan - khususnya bahasa Arab dan Inggris. Bahasa Arab sebagai kunci mempelajari ilmu agama dan Inggris untuk ilmu umum, selain pelbagai ilmu seperti ushul fiqih, musthalah hadits, mantiq (logika) dan ilmu alat. Santri juga diajar memahami kitab Bidayatul Mujtahid - karya Ibnu Rusyd - yang mensosialisasikan pemikiran Aristoteles di dunia Islam. Kitab ini mendidik mental ilmiah sebab ia memaparkan dengan pendekatan komparasi, perbandingan mazhab. Di banyak pesantren salaf kitab ini ditolak.

Gontor memang tidak pernah berhenti ber-ijtihad. Modernitas dipelihara dan diaktualkan sehingga tidak sampai menjadi fosil sejarah. Materi pelajaran setiap saat dievaluasi agar kurikulum tidak ketinggalan dari perkembangan masyarakat. Modernitas bukan sekadar gedung bertingkat, pakai dasi dan jas, pelajaran bahasa Inggris dan umum.

Semangat pembaruannya mengingatkan pada Muhammadiyah. Di sisi lain, tradisi ritualnya, seperti wiridan massal seusai salat, membaca qunut nazilah saat Salat Subuh, dua kali azan pada Salat Jumat, adalah tradisi NU.

"Gontor bukan NU dan bukan Muhammadiyah," tegas KH Abdullah Syukri Zarkasyi. Tetapi setelah keluar dari Gontor mau masuk organisasi apa saja terserah," tambahnya.

Dua sisi corak yang seolah saling paradoksal itu memang ciri Gontor. Dalam melakukan modernisasi, berpijak pada kaidah: almuhafadhah ala qadimis-shalih wal ahdu bil jadid, menjaga hal-hal lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang baik pula. Sehingga kebangunannya ibarat pohon yang akarnya menghujam dalam ke bumi dan batangnya menjulang ke langit. ***
Al-marji' : http://www.kompas.com/9610/08/POLITIK/mode.htm 

Gagasan dan Cita-Cita
Gedung Saudi

Apakah gagasan dan cita-cita para pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo sehingga mempunyai tekad yang begitu besar? Cita-citanya terutama adalah rasa tanggung jawab memajukan ummat Islam dalan mencari ridha Allah. Tempat yang dipilih untuk mewujudkan cita-cita itu adalah Pondok Pesantren, yaitu lembaga pendidikan Islam yang pernah berjaya pada masa nenek moyang mereka tatapi pada saat itu telah mati.

Pendidikan pondok pesantren adalah model pendidikan Islam yang banyak dipakai dan berlaku di beberapa negara Islam. Namun, di negara-negara itu pendidikan Islam telah banyak mengalami kemajuan dan perkembangan, sedangkan lembaga pendidikan pesantren di Indonesia karena situasi penjajahan dan lain-lain belum mampu berkembang pesat sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan di negara-negara Islam lainnya. Karena itu pengembangan pondok pesantren di Indonesia perlu mengambil kaca perbandingan dari lembaga-lembaga Islam di luar negeri yang serupa dengan sistem pendidikan pesantren.
Gontor sebagai Sintesa Al-Azhar, Syanggit, Aligarh dan Santiniketan

Para Pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor, pada awal pembangunan Pondok Gontor Baru telah mengkaji berbagai lembaga pendidikan terkenal dan maju di luar negeri, khususnya yang sesuai dengan sistem pondok pesantren. Di Mesir terdapat Universitas al-Azhar yang terkenal dengan keabadiannya. Al-azhar bermula dari sebuah masjid yang didirikan oleh Penguasa Mesir dari Daulah Fatimiyyah. Universitas ini telah hidup ratusan tahun dan telah memiliki harta wakaf yang mampu memberi beasiswa kepada siswa dari seluruh dunia. Di Mauritania terdapat Pondok Syanggit. Lembaga pendidikan ini harum namanya berkat kedermawanan dan keikhlasan para pengasuhnya. Syanggit adalah lembaga pendidikan yang dikelola dengan jiwa keikhlasan; para pengasuh mendidik murid-murid siang-malam serta menanggung seluruh kebutuhan santri. Di India terdapat Universitas Muslim Aligarh, sebuah lembaga pendidikan modern yang membekali mahasiswanya dengan ilmu pengetahuan umum dan agama serta memjadi pelopor revival of Islam. Di India juga terdapat perguruan Santiniketan, didirikan oleh Rabindranath Tagore, seorang filosuf Hindu. Perguruan yang dikenal dengan kedamaiannya ini berlokasi di kawasan hutan, serba sederhana dan telah mampu mengajar dunia.

Keempat lembaga pendidikan tersebut menjadi idaman para pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor, karena itu mereka hendak mendirikan lembaga pendidikan yang merupakan sintesa dari empat lembaga di atas.
Bermula dari Kongres Umat Islam

Selain itu, gagasan untuk membangun Gontor Baru dan gambaran tentang bentuk pendidikan dan lulusannya diilhami oleh peristiwa dalam Konggres Ummat Islam Indonesia di Surabaya pada pertengahan tahun 1926. Kongres itu dihadiri oleh tokoh-tokoh ummat Islam Indonesia, misalnya H.O.S.Cokroaminoto, Kyai Mas Mansur, H. Agus Salim, AM. Sangaji, Usman Amin, dan lain-lain.

Dalam kongres tersebut diputuskan bahwa ummat Islam Indonesia akan mengutus wakilnya ke Muktamar Islam se-Dunia yang akan diselenggarakan di Makkah. Tetapi timbul masalah tentang siapa yang akan menjadi utusan. Padahal utusan yang akan dikirim ke Muktamar tersebut harus mahir sekurang-kurangnnya dalam bahasa Arab dan Inggris. Dari peserta kongres tersebut tak seorang pun yang menguasai dua bahasa tersebut dengan baik. Akhirnya dipilih dua orang utusan, yaitu H.O.S. Cokroaminoto yang mahir berbahasa Inggris dan K.H. Mas Mansur yang menguasai bahasa Arab. Peristiwa ini mengilhami Pak Sahal yang hadir sebagai peserta konggres tersebut akan perlunya mencetak tokoh-tokoh yang memiliki kriteria di atas .

Kesan-kesan Kyai Ahmad Sahal dari kongres itu menjadi topik pembicaraan dan merupakan masukan pemikiran yang sangat berharga bagi bentuk dan ciri lembaga yang akan dibina di kemudian hari .

Selain itu, situasi masyarakat dan lembaga pendidikan di tanah air saat itu juga mengilhami timbulnya ide-ide mereka. Banyak sekolah yang dibina oleh zending-zending Kristen yang berasal dari Barat mengalami kemajuan yang sangat pesat; guru-guru yang pandai dan cakap dalam penguasaan materi dan metodologi pengajaran serta penguasaan ilmu jiwa dan ilmu kemasyarakatan. Sementara itu, lembaga pendidikan Islam belum mampu menyamai kemajuan mereka. Diantara sebab ketidakmampuan itu adalah kurangnya pendidikan Islam yang dapat mencetak guru-guru Muslim yang cakap, berilmu luas dan ikhlas dalam bekerja serta memiliki tanggung jawab untuk memajukan masyarakat

Dari sisi lain, lembaga-lembaga pendidikan yang ada pada saat itu sangat timpang, satu lembaga pendidikan memberikan pelajaran umum saja dan mengabaikan pelajaran-pelajaran agama, lembaga-lembaga pendidikan lain hanya mengajarkan ilmu agama dan mengesampingkan pelajaran umum. Padahal keduanya adalah ilmu Islam dan sangat diperlukan oleh ummat Islam. Maka pondok pesantren yang akan dikembangkan itu harus memperhatikan hal ini .

Situasi sosial dan politik bangsa Indonesia berpengaruh pula pada pendidikan; banyak lembaga pendidikan yang didirikan oleh partai-partai dan golongan-golongan politik. Dalam lembaga pemdidikan itu ditanamkan pelajaran tentang partai atau golongan. Sehingga timbul fanatisme golongan. Sedangkan para pemimpinnya terpecah karena masuknya benih-benih perpecahan yang disebarkan oleh penjajah. Maka lembaga pendidikan itu harus dibebaskan dari kepentingan golongan atau partai politik tertentu, dan “berdiri di atas dan untuk semua golongan".

Tidak dapat disangkal bahwa ummat Islam Indonesia, juga ummat Islam di seluruh dunia, terbagi ke dalam berbagai suku, bangsa, negara, dan bahasa; mereka juga terbagi ke dalam aliran-aliran paham agama; mereka juga terbagi-bagi ke dalam kelompok-kelompok organisasi dan gerakan baik dalam bidang politik, sosial, dakwah, ekonomi, maupun yang lain. Kenyataan ini menunjukkan adanya faktor pengkategori yang beragam. Tetapi, harus tetap disadari bahwa kategori-kategori tersebut tidak bersifat mutlak. Karena itu, semua dasar klasifikasi tersebut tidak boleh dijadikan dasar pengkotak-kotakan ummat yang menjurus kepada timbulnya pertentangan dan perpecahan di antara mereka. Maka lembaga pendidikan harus berusaha menanamkan kesadaran mengenai hal ini, serta mengajarkan bahwa faktor pengkategori yang sebenarnya adalah Islam itu sendiri; ummat Islam seluruhnya adalah bersaudara dalam satu ukhuwwah diniyyah.

Bangsa ini terus berkembang dan semua itu menjadi perhatian, pengamatan, dan pemikiran para pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor. Secara bertahap sistem pendidikan di Pondok Modern Darussalam Gontor berjalan dengan berbagai percobaan pengembangan dari waktu ke waktu. Ketiga pendiri yang memiliki latarbelakang pendidikan yang berbeda itu saling mengisi dan melengkapi, sehingga Balai Pendidikan Pondok Modern Darussalam Gontor menjadi seperti sekarang ini.

Namun semua yang ada saat ini belum mencerminkan seluruh gagasan dan cita-cita para pendiri Gontor. Karena itu adalah tugas generasi penerus untuk memelihara, mengembangkan dan memajukan lembaga pendidikan ini demi tercapainya cita-cita para pendirinya.


TEOLOGI INTEGRALISTIK DAN PRAKSIS PENDIDIKAN PESANTREN MODERN
Oleh : Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A.

A. Teologi Integralistik.

Dalam Islam dikenal berbagai aliran teologi seperti Khawarij, Murjiah, Qadariah, Jabariah, Mu’tazilah, Asy’ariah, Maturidiah, Bazdawiyah, Syiah dan lain-lain. Diantara sekian banyak aliran teologi ada yang masih eksis dalam kehidupan anak manusia dan ada pula yang sudah hilang dan tinggal nama dalam sejarah.

Bila dikategorikan menurut penghargaannya terhadap potensi akal, maka aliran-aliran teologi diatas dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu teologi tradisional, teologi rasional, dan teologi integral. Yang disebutkan terakhir ini adalah corak teologi yang menggabungkan antara teologi tradisional dan teologi rasional. Teologi Khawarij, Murjiah, Jabariah, Asy’ariah, dan Bazdawiyah dapat dikategorikan sebagai teologi tradisional, karena berpegang kepada tradisi-tradisi lama dan kurang memberikan ruang gerak dan penghargaan terhadap potensi akal. Qadariah dan Mu’tazilah dapat dikategorikan sebagai sebagai aliran-aliran teologi Islam bercorak rasional karena sangat tinggi memberikan penghargaan terhadap potensi akal. Sedangkan Maturidah dan Syiah dapat dikategorikan sebagai teologi Islam bercorak integral karena menggabungkan sifatnya mengambil jalan tengah, yaitu mengintegrasikan teologi tradisional dan rasional.

Di pesantren-pesantren salafiah di Indonesia pada umumnya diajarkan teologi tradisional—terutama Asy’ariah yang lebih dikenal dengan nama Ahlussunnah tanpa mengenalkan aliran teologi Islam yang lain, sehingga terkesan menafikan aliran teologi lain bahkan memandangnya sebagai teologi yang cenderung tidak selamat. Namun demikian, dalam praksis dan perkembangan selanjutnya ada juga pesantren yang mengajarkan teologi integral.
Seting pemikiran keagamaan di pesantren salafi seperti itu dapat dilihat dari tulisan Nurcholish Madjid mengutip pernyataan Haji Muhammad Saleh ibn ‘Umar Samarânî (yang populer dengan sebutan Kyai Saleh Darat dari daerah dekat Semarang, Jawa Tengah), yang mengutip dan menafsirkan Hadis Nabi Muhammad saw yang amat terkenal tentang perpecahan umat Islam menjadi 73 golongan, dan siapa diantara mereka itu yang akan selamat. Dalam bahasa Jawa, teks itu berbunyi sebagai berikut :

...Wus dadi prenca-prenca umat ingkang dihin-dihin ingatase pitung puluh loro pontho, lan besuk bakal pada prenca-prena sira kabeh dadi pitung puluh telu pontho, setengah sangking pitung puluh telu namung sawiji ingkang selamet, lan ingkang pitung puluh loro kabeh ing dalem neraka. Ana dene ingkang sewiji ingkang selamet iku kelakuan ingkang wus den lakoni Gusti Rasulullah saw, lan iya iku ‘aqa’ide Ahl al-sunnah wa al-Jamâ’ah Asy’ariyyah lan Mâturidiyyah. 

Terjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:

(...Umat yang telah lalu telah terpecah-pecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan kelak kamu semua akan terpecah-pecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, dari antara tujuh puluh tiga itu hanya satu yang selamat, sedangkan yang tujuh puluh dua semuanya dalam neraka. Adapun yang satu yang selamat itu ialah mereka yang berkelakuan seperti yang dilakukan oleh junjungan Rasulullah saw, yaitu ‘aqâ’id (pokok-pokok kepercayaan) Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah Asy’ariyyah dan al-Mâturîdîyyah).

Teks dalam Bahasa Jawa tersebut diambil dari Tarjamat Sabîl al-‘Âbid ‘alâ Jawharat al-Tawhîd (sebuah Terjemah dan Uraian Panjang atas Kitab Ilmu Kalam yang terkenal dengan sebutan Jawharat al-Tawhîd) dalam bahasa Jawa dengan tulisan Arab huruf pego (tanpa syakl) hal. 27-28., Tanpa Data Penerbitan.

Ajaran teologis seperti dalam teks di atas, dapat dikatakan sangat menonjolkan aliran Ahl al Sunnah wa al-Jamâ’ah Asy’ariyyah dan al-Mâturîdîyyah. Bahkan menyatakan hanya kedua aliran inilah yang nanti selamat di akhirat. Artinya—menurut teks tersebut—aliran-aliran lain menjadi tidak selamat. Seperti itulah teologi yang diajarkan di pesan-pesantren salafi di Indonesia berpuluh-puluh tahun yang lalu.

K.H. Imam Zarkasyi, salah satu pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur dalam tulisan-tulisan dan praksis pendidikan yang diterapkan di lembaga pendidikannya menyuarakan ajaran teologi integralistik. Buku Ushûluddîn (‘Aqâ’id) yang ditulisnya memang lebih banyak menyuratkan teologi Asy’ariah. Hal itu karena pada saat itu masyarakat pesantren khususnya belum banyak mengetahui aliran selain itu. Namun, dalam praksis pendidikannya, Imam Zarkasyi lebih banyak terlihat mengintegrasikan teologi-teologi rasional dengan teologi tradisional. Jika demikian, benarkah pemikiran teologi dapat mempengaruhi praksis pendidikan Pondok Pesantren Modern? Realitas-realitas berikut dapat dipertimbangkan untuk menjadi jawabannya.

B. Paradigma Baru Pondok Pesantren dan Pendidikan Islam

Salah satu karya besar Imam Zarkasyi sepanjang hayatnya adalah pondok pesantren yang ia bangun dan kembangkan bersama dengan kedua kakaknya, yang kemudian dikenal oleh masyarakat dengan nama Pondok Modern Gontor.

Menurut Imam Zarkasyi, secara umum pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama, kyai sebagai central figure-nya, masjid sebagai titik pusat yang menjiwainya. Ini sejalan dengan penegasan Mastuhu dalam penelitiannya tentang dinamika sistem pendidikan pesantren yang menyatakan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fî al-dîn) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari. Selanjutnya Mastuhu menyatakan bahwa penyelenggaraan lembaga pendidikan pesantren berbentuk asrama yang merupakan komunitas tersendiri dibawah pimpinan kiai atau ulama dibantu oleh seorang atau beberapa orang ulama dan atau para ustadz yang hidup bersama di tengah-tengah para santri dengan masjid atau surau sebagai pusat kegiatan peribadatan keagamaan, gedung-gedung sekolah atau ruang-ruang belajar sebagai pusat kegiatan belajar-mengajar, serta pondok-pondok sebagai tempat tinggal para santri. Zamakhsyari Dhofier dalam penelitiannya tentang tradisi pesantren menyimpulkan bahwa pesantren adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan kiyai. Pakar ini juga menekankan bahwa ada lima elemen dasar dari tradisi pesantren yaitu pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, dan kiyai.

Berbeda dari dua definisi Mastuhu dan Zamakhsyari Dhofier diatas, dalam definisinya tentang pesantren, Imam Zarkasyi tidak menyebutkan kata ”tradisional”—yang dapat dipahami sebagai sama dengan salafi dan lawan dari khalafi—juga tidak menyebutkan kata ”kitab-kitab Islam klasik” sebagai unsur pesantren, karena pesantren dalam pandangan Imam Zarkasyi tidak harus selalu bersifat tradisional—artinya bisa merupakan lembaga pendidikan modern—dan tidak harus selalu menekankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik atau yang lebih dikenal dengan sebutan kitab kuning, karena pesantren menurutnya bisa saja tidak mengajarkan kitab-kitab Islam klasik. Meskipun begitu, memperdalam ilmu ilmu agama (tafaqquh fî al-dîn) dalam arti luas, harus tetap menjadi kajian utama di pesantren. Adanya kemungkinan pesantren menjadi lembaga pendidikan ”modern” juga diungkapkan oleh Nurcholish Madjid yang menyatakan bahwa trade mark seorang muslim ”modern” ditandai dengan mengetahui bahasa Arab secara aktif dan sekaligus bahasa Inggris. Model pesantren modern seperti ini menjadi cita-cita K.H. Imam Zarkasyi dan kedua kakaknya sejak awal berdirinya pondok yang mereka bangun.

Kehidupan di dalam pondok pesantren, menurut Imam Zarkasyi, dijiwai oleh suasana-suasana yang ia simpulkan dalam lima hal, yang kemudian ia sebut dengan Panca Jiva Pondok Pesantren, yaitu jiwa keikhlasan, kesederhanaan, kesanggupan menolong diri sendiri atau berdikari, jiwa ukhuwwah dîniyyah yang demokratis antara para santri, dan jiwa bebas

Pondok pesantren harus mempunyai idealisme yang kuat. Untuk mencapai idealisme itu, pendiri pondok pesantren harus mempunyai “mimpi-mimpi” besar yang akan menjadi pemicu dan penuntun dalam mencapai cita-cita luhur itu. Untuk itu, di pesantren yang ia pimpin, Imam Zarkasyi mengambil sintesa dari 4 lembaga dunia yang ia sebut dengan sintesa 4 unsur, yaitu : Pertama, Al-Azhar di Mesir dengan wakafnya yang luas sehingga mampu memberikan beasiswa kepada para mahasiswanya, juga kemampuan bertahan dan berkembang dalam suasana apapun. Kedua, Aligarh di India yang merupakan lembaga terkenal dengan modernisasi pendidikannya, hingga mampu memproduksi tokoh yang mampu mewarnai umat Islam di India. Menurut Informasi Amal Fathullah, Aligarh dengan tokoh utamanya Sayyid Ahmad Khan, adalah suatu perguruan tinggi Islam yang sudah mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum ketika perguruan tinggi Islam yang lain masih mengharamkan ilmu pengetahuan umum. Bahkan dari sekolah tingkat menengah di Aligarh telah diajarkan ilmu-ilmu umum disamping ilmu-ilmu agama dalam rangka mengejar ketertinggalan umat Islam dari dunia Barat. Model pendidikan semacam itu, belum ada di dunia Islam saat itu, selain Aligarh

Sintesa ketiga dari Pondok Modern Gontor adalah Syanggit di Mauritania, Afrika Barat Daya dengan kemampuan mengislamkan Afrika Barat Daya dan memproduksi da’i-da’i yang handal. Penulis mendapatkan informasi yang cukup menarik dari Amal Fathullah Zarkasyi tentang perguruan Syanggit itu bahwa K.H. Imam Zarkasyi mendapatkan informasi tentang perguruan itu dari K.H. Mas Mansur, seorang tokoh Syarekat Islam dan Muhammadiyah di Indonesia yang—menurut Amal Fathullah—adalah juga alumni Syanggit itu.

Sintesa keempat adalah Santineketan di India dengan kedamaian dan kesederhanaannya dari sebuah desa kecil, Rabindranath Tagore sanggup mengajar dunia. Menurut Amat Fathullah, meskipun Santineketan adalah lembaga pendidikan Hindu, tetapi lembaga itu penuh dengan nuansa kedamaian. Meskipun berlokasi di tengah hutan dan jauh dari keramaian, tetapi Santineketan berasrama dan sangat damai. Lembaga ini mampu mengajar dunia dari tengah hutan yang sepi di sana.

Pemikiran Imam Zarkasyi diatas tidak saja menjadi pedoman dalam mengembangkan Pondok Modern Gontor, tetapi juga dibenarkan oleh Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudoyono dalam sambutannya ketika menutup peringatan 80 tahun Pondok Modern Gontor 28 Mei 2006 sebagai berikut.

Di pondok ini, para kyai tidak saja mengajarkan literatur-literatur klasik tentang Islam, tetapi juga menelaah khasanah kepustakaan yang ditulis oleh para mujahid, para pembaharu. Pondok inipun sangat terbuka dengan wawasan pemikiran modern yang datang dari mana saja. Sebagai lembaga pendidikan yang mempertahankan sebagian tradisi pesantren dan juga mengadopsi kelembagaan pendidikan modern dari luar negeri, maka pondok ini mampu memiliki ciri dan karateristik yang khas. Pondok Modern Darussalam Gontor telah berhasil memelihara tradisi lama yang baik serta menerapkan inovasi baru yang sejalan dengan perkembangan jaman.

Lebih lanjut, Presiden Susilo Bambang Yudoyono menegaskan sebagai berikut.

Tradisi lama dan inovasi baru yang itu terasa lebih memiliki nilai tambah ketika para pimpinan pondok ini berhasil menggabungkan berbagai tradisi pendidikan dari seluruh penjuru dunia. Antara lain tradisi pendidikan dari Universitas Al-Azhar Kairo sebagai salah satu bukti intelektual Islam paling depan.

Perguruan Sanggit yang menginspirasi pentingnya beasiswa bagi para santri, saya kira dari Maroko (Mauritania, Afrika Barat Daya – pen), Perguruan Santineketan dengan pendekatan kebudayaan dan Perguruan Aligarh yang mengilhami pentingnya pendidikan modern dalam Islam. Saya kira ini perguruan Islam (Hindu – pen) dari India.

Tradisi-tradisi dari berbagai perguruan ini menjadi inspirasi bagi para pengasuh dan kyai yang meletakkan sistem dan metode pendidikan yang khas Pondok Modern Darussalam Gontor. Dengan sistem dan metoda yang khas, pondok ini telah berhasil mencetak kader bangsa yang tangguh, tanggon dan trengginas. Selain itu juga kader umat yang beriman, bertakwa dan berpengetahuan luas.

Tentang masa depan pondok pesantren, Imam Zarkasyi menyatakan bahwa pondok pesantren harus selalu dinamis, mengikuti perkembangan dan tuntutan zaman. Menurutnya, karena zaman selalu berkembang dan maju, maka seharusnya pelajaran dalam pondok pesantren diselenggarakan sesuai dengan masa depan kehidupan para santri di dalam masyarakat. Selain itu, syarat material harus juga dipenuhi, yaitu harus ada wakaf sebagai backing bagi kelangsungan hidup pondok pesantren dan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan pengajarannya. Ini seperti yang terjadi, misalnya, di al-Azhar, Mesir.

Dengan idealisme seperti di atas, Imam Zarkasyi telah melahirkan beberapa tokoh-tokoh Islam di Indonesia. Hal itu ditegaskan oleh Wakil Presiden RI Muhammad Jusuf Kalla ketika membuka acara peringatan 80 tahun ini. Dalam sambutannya, Wakil Presiden RI mengatakan :

Pondok pesantren (ponpes) modern Darussalam yang memasuki usia ke-80 tahun ini telah memberikan pendidikan dan pembelajaran yang bermutu bagi kehidupan masyarakat di Indonesia dalam sejarah bangsa.

Ponpes ini telah berhasil memunculkan tokoh-tokoh nasional yang banyak berperan dalam proses mencerdaskan bangsa, di antaranya Ketua MPR RI, Dr Hidayat Nur Wahid, Pimpinan Muhammmadiyah, Dien Syamsudin dan Pimpinan Nahdhatul Ulama, Hasyim Muzadi.

Tentang sistem pendidikan Islam, Imam Zarkasyi menyatakan bahwa pendidikan dan pengajaran agama lebih tepat dilaksanakan secara klasikal dan bukan individual atau halaqah. Dengan klasikal, para guru--bahkan kiai--dituntut untuk mengetahui apakah santri atau muridnya telah mengerti apa yang diajarkannya atau tidak, karena di akhir pelajaran diharuskan ada evaluasi. Sementara itu, dalam sistem halaqah yang banyak dilakukan di pesantren-pesantren lain pada masa itu, tidak mengharuskan adanya evaluasi di akhir sebuah proses pembelajaran. Padahal evaluasi merupakan salah satu komponen dari sekian banyak komponen dalam peningkatan kualitas pendidikan dalam Standar Nasional Pendidikan di Indonesia.

Selain itu, dalam pemikiran Imam Zarkasyi Ilmu Mantiq (Logika) dan Filsafat harus diajarkan di pondok pesantren. Sementara itu, di pondok pesantren lain ada sekelompok ulama yang menganggap bahwa kedua ilmu tersebut tidak baik untuk diajarkan, bahkan ada yang mengharamkannya. Bukan itu saja, menurut Imam Zarkasyi, di pondok pesantren harus diajarkan ilmu pengetahuan umum, disamping ilmu agama yang memang menjadi core-nya, meskipun sebenarnya—menurut M. Din Syamsuddin--sesuai dengan universalitas Islam sendiri, Islam tidak mengenal dikotomi antara ilmu-ilmu agama (al-‘ulûm al-dîniyyah) dan ilmu-ilmu umum (al-‘ulûm al-madaniyyah), tapi memungkinkan pengintegrasian antara keduanya ke dalam suatu paradigma ilmu Islami. Namun, menurut Imam Zarkasyi, “pelajaran yang diberikan di pondok pesantren tingkat menengah adalah pengetahuan umum dan pengetahuan agama tingkat lanjutan, tetapi setingkat bukan berarti sama.” Sementara itu, di banyak pesantren saat itu, hanya diajarkan ilmu-ilmu agama, menganggap Ilmu Manthiq dan Filsafat sebagai kurang baik, bahkan haram diajarkan. Boleh jadi, kelompok pesantren dan ulama yang berpendapat sedemikian itu dipengaruhi oleh pemikiran Syaikh Burhânuddîn al-Zarnujîy, pengarang kitab Ta’lîm al-Muta’allim : Tharîq al-Ta’allum, yang merupakan kitab klasik terkenal dan banyak dikaji di pondok pesantren tradisional, khususnya bagi santri pemula. Kitab ini mengandung tata cara belajar ilmu agama dan etika santri kepada kiai dan gurunya.

Ada hal lain yang harus ditekankan dalam pendidikan pondok pesantren dalam pemikiran Imam Zarkasyi, yaitu pentingnya memperhatikan sopan santun dalam hal memuliakan ilmu dan guru, dan akhlak mulia. Yang dimaksud dengan akhlak mulia dalam pandangan Imam Zarkasyi, termasuk belajar dengan sunguh-sungguh, tawakkal, asih, menjauhi perbuatan-perbuatan haram, dan sebagainya. Oleh karena itu, moto pendidikan pesantren dalam pemikiran Imam Zarkasyi adalah Berbudi Tinggi, Berbadan Sehat, Berpengetahuan Luas, dan Berpikiran Bebas. Ini berbeda dari konsep pendidikan di pesantren-pesantren yang mengadopsi konsep al-Zarnujîy dalam kitab Ta’lîm al-Muta’allim, Imam Zarkasyi berpendapat bahwa pesantren tidak perlu menekankan macam makanan yang perlu dimakan oleh santri supaya mudah menghafal dan tidak menjadi pelupa. Namun, menurut Imam Zarkasyi, di pondok pesantren harus ditekankan perlunya hidup sederhana juga dalam hal makanan. Juga menurutnya, santri tidak perlu melakukan “amalan-amalan” yang diharapkan mendatangkan rezeki, tetapi yang perlu adalah usaha dan berjuang secara gigih untuk mendapatkan rezeki itu, dan harus disertai doa. Selain itu, di pondok pesantren harus ada pendidikan rela berkorban, seperti mewakafkan sebagian—atau bahkan sebagian besar—harta untuk kepentingan pesantren dan umat. Inilah yang saat ini disebut philanthropy atau kedermawanan dalam Islam.

Pesantren yang didirikan K.H. Imam Zarkasyi tidak berafiliasi kepada partai atau tarekat apapun. Karena tidak mengikuti aliran tarekat atau partai politik tertentu, maka diantara semboyan pondok pesantren yang didirikan Imam Zarkasyi dan kedua kakaknya adalah “Pondok Modern Gontor diatas dan untuk semua golongan”. Artinya, pondok pesantren ini tidak dibawah aliran atau golongan tertentu, dan boleh dimasuki oleh siapa saja dan dari golongan apapun. Amin Abdullah, seorang Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang juga alumni pesantren yang dipimpin Imam Zarkasyi itu, menafsirkan bahwa semboyan diatas merupakan tugas yang bersifat kreatif dan orisinal yang dapat diperankan oleh siapa saja yang mempunyai good will sebagai ummatan wasathan atau keperekatan umat. Namun, sebagai perekat umat, alumni pondok pesantren harus bergabung dan berkiprah di dalam berbagai organisasi Islam yang sesuai dengan panggilan hati dan latar belakang masing-masing, dan bukan bermain di luar pagar sehingga tidak dapat berbuat apa-apa, tetapi harus dihindari sikap fanatik yang pekat, yang mencampur-adukkan end dan mean sebuah organisasi. Maka alumni pondok pesantren—menurut Abdullah Syukri Zarkasyi-- boleh saja aktif di partai politik, asal sudah menjadi alumni. Demikian Abdullah Syukri Zarkasyi menegaskan. Menurutnya, pondok pesantren harus netral dari politik.

Arah dan tujuan pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren, menurut pemikiran Imam Zarkasyi adalah kemasyarakatan, hidup sederhana, tidak berpartai, dan ibadah yaitu thalab al-‘ilm, bukan menjadi pegawai.



B. Urgensi Bahasa Arab dan Inggris dalam Pendidikan Islam. 



Sebagai konsekuensi dari pemikiran dan praksis tentang paradigma baru pengembangan pondok pesantren dan pendidikan Islam, menurut Imam Zarkasyi bahasa Arab dan Inggris menjadi bahasa yang menjadi perhatian pesantren modern. Menurutnya, bahasa Arab dan Inggris harus dikuasai oleh seluruh santri agar mereka mampu berkomunikasi dengan berbagai bangsa di dunia internasional. Namun, hal itu tentu tidaklah mudah untuk dilakukan, karena perlu keberanian, keterampilan, dan kesungguhan. Untuk menguasai kedua bahasa itu, di pondok pesantren perlu dilakukan langkah-langkah kongkret dengan cara-cara tertentu. Syarat paling minimal untuk menguasai kedua bahasa itu adalah “tinggalkan bahasa daerah sama sekali. Kalau terpaksa, boleh berbisik-bisik dalam bahasa Indonesia.” Tegasnya, di Pondok Modern Gontor, para santri dilarang berbicara dengan bahasa daerah masing-masing. Karena santri di pondok itu datang dari berbagai daerah di Indonesia, maka mereka harus berbicara dengan bahasa Indonesia untuk dapat dipahami oleh kawan-kawannya dari daerah lain.

Bahasa bukan saja sebagai alat komunikasi, melainkan juga sebagai pembentuk kerangka berpikir. Oleh karena itu, Imam Zarkasyi memilih bahasa Arab dan Inggris sebagai dua bahasa internasional yang harus dikembangkan di pondoknya, meskipun pada saat itu kaum terpelajar di Indonesia lebih banyak menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pergaulan resmi. Bagaimanapun, bahasa Inggris dan bahasa Arab dipilih oleh Imam Zarkasyi dan kedua kakaknya, karena kedua bahasa ini lebih bersifat internasional dari pada bahasa lainnya. Selain itu, kedua bahasa ini juga merupakan bahasa yang digunakan oleh intelektual dunia Islam seperti Jamâluddin al-Afghânîy dalam menyebarkan ide Pan-Islamismenya, dan Muhammad Abduh dengan ide pendidikan Islamnya.

Menurut Imam Zarkasyi, penguasaan bahasa Arab menjadi sangat urgen dalam konstalasi kemajuan dunia di zaman modern. Dalam pandangannya, bahasa asing—khususnya bahasa Arab dan Inggris—adalah kunci segala ilmu pengetahuan dan tata pergaulan internasional. Pemikiran seperti itu, telah tertanam di dalam benak Imam Zarkasyi—bersama K.H. Ahmad Sahal dan K.H. Zainuddin Fannani—setidaknya pasca Kongres Umat Islam Indonesia di Surabaya pada pertengahan tahun 1926, yang salah satu peserta kongres itu adalah K.H. Ahmad Sahal, kakak tertua Imam K.H. Imam Zarkasyi. Salah satu keputusan kongres tersebut bahwa umat Islam Indonesia akan mengutus wakilnya ke Muktamar Islam sedunia yang diselenggarakan di Mekah. Kriteria utusan itu harus mahir sekurang-kurangnya bahasa Arab dan bahasa Inggris. Ini menjadi problem umat Islam Indonesia, karena tak satupun yang dipandang memenuhi kriteria tersebut. Akhirnya dipilih dua orang utusan, yaitu H.O.S. Cokroaminoto yang mahir berbahasa Inggris dan K.H. Mas Mansur yang menguasai bahasa Arab. Kesadaran ini memberi semangat Imam Zarkasyi untuk mempelajari metode pengajaran bahasa asing—terutama bahasa Arab—yang tepat. Ia belajar di Solo, Jawa Tengah dan Padang Panjang, Sumatera Barat. Sepulang dari merantau, Imam Zarkasyi mengembangkan metode pengajaran bahasa Arab dengan Durûs al-Lughah al-‘Arabiyyah, dan bahasa Inggris dengan metode Berlitz. Kedua bahasa itu diajarkan dengan metode langsung (direct method). Metode langsung ini, menurut Armai Arief, merupakan metode yang diterapkan oleh Imam Zaraksyi dari pengalaman yang ia peroleh dari guru-gurunya terdahulu, terutama Mahmud Yunus yang memperkenalkan metode al-mubâsyirah (metode langsung).



C. Pendidikan Toleransi dalam Masalah Khilafiah



Dalam pandangan Imam Zarkasyi, masalah khilafiah adalah masalah-masalah yang diperslisihkan hukumnya oleh para ulama dalam urusan fikih. Menurutnya, dalam rangka menanamkan pendidikan toleransi bermadzhab, masalah khilafiah seperti ini perlu diajarkan kepada para santri senior yang sudah cukup bekal ilmu pengetahuan agamanya. ini Dalam kehidupan sosial keagamaan, masalah khilafiah sering menjadi persoalan yang cukup sensitif dan serius. Perbedaan latar belakang pengetahuan seseorang, menyebabkan perbedaan pemahaman terhadap suatu masalah keagamaan. Menurut Imam Zarkasyi, masalah khilafiah hanya terjadi di dalam furû’ yaitu cabang atau ranting perintah-perintah agama, dan bukan mengenai pokok-pokoknya atau ushûl. Namun, karena banyak orang yang kurang dapat membedakan antara yang pokok dan yang bukan pokok, maka sering orang mengira bahwa yang furû itu adalah yang pokok. Disamping itu, banyak juga orang yang fanatik kepada yang furû itu yang menjadi kebiasaannya, kemudian berasumsi bahwa yang ia lakukan itu adalah yang pokok. Ia menuliskan contoh masalah membaca ushallîy sebelum takbîrat al-ihrâm atau masalah doa qunût dalam shalat subuh, kedua-duanya bukanlah masalah pokok. Padahal tidak seorangpun di antara ulama di dunia yang mengatakan bahwa sembahyang tanpa ushallî atau tanpa doa qunût pada shalat subuh itu batal. Atau sebaliknya, tidakada juga yang berpendapat bahwa yang mengucapkan ushallî dan doa qunût itu shalatnya batal.

Maka tidak heran jika Muhammad Idrîs al-Syâfi’îy ketika berada di Mesir mengeluarkan fatwa yang berbeda dari fatwanya ketika ia berdomisili di Baghdad. Pendapat Syafi’îy yang terdahulu—yaitu ketika berada di Baghdad-- disebut dengan qawl qadîm, dan yang baru—ketika dia berada di Mesir--disebut dengan qawl jadîd. Hal seperti itu, menurut Muhammad Abu Zahrah, karena Syâfi’îy sangat tekun dan ikhlas dalam mencari kebenaran syariat Islam yang agung, dan oleh karena itu, ia selalu ingin meneliti, karena ia memiliki pemikiran yang cemerlang, sehingga tidak tinggal diam hingga menemukan yang ia kehendaki. Ini juga menunjukkan kekayaan intelektualitas Islam.

Dalam fikih perbandingan dapat dilihat banyaknya perbedaan pendapat. Hal seperti ini pula yang diungkapakna oleh Waha al-Zuhayliy, bahwa pada masa sekarang sangat perlu menghargai ragam pendapat para mujtahid, tanpa terikat oleh suatu madzhab tertentu. Banyaknya ragam perbedaan pendapat dalam masalah fikih maupun bidang akidah, menurut Imam Zarkasyi, harus disikapi dengan berlapang dada, bermurah hati, dan ber-tasâmuh (bertoleransi) sesama umat Islam yang berbeda paham dalam masalah khilafiah. Karena masalah itu tidak ada hubungannya dengan masuk surga. Ini dapat dilihat dalam sejarah, misalnya ‘Umar bin Khatthâb dan ‘Usmân bin Affân, menurut hadis Nabi telah dijanjikan masuk surga, meskipun kedua sahabat itu memelopori sesuatu yang menjadi masalah khilafiah di kalangan umat Islam. Sebagaimana diketahui, ‘Umar tidak memotong tangan pencuri pada waktu paceklik, dan ‘Usman menambah satu adzan sebelum adzan Jum’at, seingga adzan Jum’at menjadi dua, padahal pada masa Nabi, adzan Jum’at itu hanya satu. Adzan dua kali, menurut Imam Zarkasyi, juga biasa dipakai di Makkah dan pula di Mesir.



D. Kurikulum Pesantren Modern.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, kurikulum diartikan sebagai seperangkat rencana dan pengaturan komponen-komponen pendidikan dan pengajaran yang sistematis, yang meliputi baik pada level tujuan, isi, organisasi maupun pada level strategi, yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) pada sekolah yang bersangkutan, untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Komponen-komponen tersebut saling mendukung dan membentuk satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dalam pemikiran Imam Zarkasyi, kurikulum pesantren modern harus merupakan suatu kesatuan tak terpisahkan yang harus diikuti oleh para santri selama enam tahun. Di dalamnya terdapat kegiatan pembelajaran di kelas yang merupakan intra kurikuler, kegiatan pendamping yang biasa disebut ko-kurikuler, dan kegiatan di luar kelas yang biasa disebut dengan ekstra kurikuler.

1. Intra Kurikuler.
Tabel berikut menjelaskan pemikiran Imam Zarkasyi tentang intra kurikuler di pesantren modern.



Tabel 1

ISI KURIKULUM (INTRA KULRIKULER) KMI PONDOK MODERN GONTOR



NO.


KELOMPOK MATA PELAJARAN


NAMA-NAMA MATA PELAJARAN


BAHASA PENGANTAR PEMBELAJARAN

1.


Bahasa Arab


Al-Imlâ’, al-Insyâ’, Tamrîn al-Lughah, al-Muthâla’ah, al-Nahwu, al-Sharf, al-Balâghah, Târîkh al-Adab, dan al-Khath al-’Arabîy.


Bahasa Arab.

2.


Dirasât Islâmiyah


Alqurân, al-Tajwîd, al-Tawhîd, al-Tafsîr, al-Hadîts, Mushthalah al-Hadîts, al-Fiqh, Ushûl al-Fiqh, al-Farâidh, al-Dîn al-Islâmîy, Muqâranat al-Adyân, Târîkh al-Islâm, al-Mantiq, dan al-Tarjamah.


Bahasa Arab untuk kelas II keatas.

3.


Ilmu Keguruan


a. Al-Tarbiyah wa al-Ta’lîm

b. Psikologi Pendidikan.


a. Bahasa Arab.

b. Bahasa Indonesia.

4.


Bahasa Inggris


Reading and Compre-hension, Grammar, Composation, dan Dictation.


Bahasa Inggris.

5.


Ilmu Pasti


Berhitung dan Matematika


Bahasa Indonesia.

6.


Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)


Fisika dan Biologi.


Bahasa Indonesia

7.


Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).


Sejarah Nasional dan Dunia, Geografi, Sosiologi, dan Psikologi Umum.


Bahasa Indonesia

8.


Ke-Indonesiaan/ Kewarga-negaraan


Bahasa Indonesia dan Tata Negara.


Bahasa Indonesia



2. Ko-Kurikuler
Selain kegiatan intra kurikuler diatas, di pesantren modern juga dilaksanakan kegiatan penunjang belajar atau ko-kurikuler yang terdiri atas fath al-kutub (penjelajahan kitab-kitab klasik Islam), kasyf al-mu’jam (penjelahan kamus dan ensiklopedi), praktik manasik haji, dan ’amaliyah al-tadris (praktik mengajar). 

3. Ekstra Kurikuler
Ekstra Kurikuler di pesantren modern terdiri atas kepramukaan, olah raga, kesenian, latihan pidato (muhâdharah), pendidikan organisasi, Rihlah Tarbawiyah Iqtishâdiyah (Wisata Pendidikan Ekonomi), dan pendidikan keterampilan. 
Unit-unit usaha yang dikembangkan di Pondok Modern Gontor merupakan pendidikan praktis dan riil dalam pengembangan ekonomi pesantren modern. Lihat tabel berikut. 















Tabel 2.





UNIT-UNIT USAHA PEREKONOMIAN DIBAWAH KOPERASI DI PONDOK MODERN GONTOR.



NO.


JENIS USAHA


TAHUN


LOKASI

1.


Penggilingan padi


1970


Gontor

2.


Percetakan Dema IPD


1970


Gontor

3.


Pabrik tegel


1974


Gontor

4.


Percetakan Darussalam


1986


Gontor

5.


Usaha Kesejahteraan Keluarga


1986


Gontor

6.


Toko Bahan Bangunan


1988


Gontor

7.


Toko Buku La Tansa


1989


Ponorogo

8.


Toko Palen I dan II


1990 & 1994


Ponorogo dan Bajang

9.


Kedai Bakso I dan II


1990 & 1997


Ponorogo

10.


Foto kopi dan alat tulis


1990


Bajang

11.


Apotek


1991


Ponorogo

12.


Wartel I dan II


1991 & 1999


Gontor

13.


P:abrik Es Balok


1996


Gontor

14.


Pusat perkulakan


1997


Gontor

15.


Toserba & Pusat Grosir


1997


Ponorogo

16.


Jasa angkutan


1999


Gontor

17.


Pasar sayur


1998


Gontor

18.


Penggemukan sapi


1999


Gontor

19.


Budi daya ayam potong


1999


Siman

20.


Penyembelihan ayam potong


2003


Gontor

21.


Pengemasan makanan ikan


2003


Gontor

22.


Pabrik roti


2003


Gontor

23.


Kerajinan sandal


2004


Gontor

24.


Pabrik air minum (mineral)


2004


Gontor


Dari apa yang diuraikan diatas, dapat diketahui bahwa teologi integralistik Imam Zarkasyi telah melahirkan suatu keberanian yang luar biasa dalam memprakarsai ide pembaharuan di dunia pendidikan modern, khususnya pondok pesantren. Ide-ide itu bukan tanpa kekurangan, tetapi masih tetap perlu dikritisi dan disempurnakan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

No comments:

Post a Comment

Jangan Lupa Berilah Komentar!!
Trimakasih atas kunjungannnya.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...