(oleh : Al Chaidar, pengamat politik)
Kerusuhan sosial di Ambon baru-baru ini yang melibatkan serangkaian konflik religi dalam masyarakat yang terkenal sangat menghormati 'kesatuan bersahabat' (pela) bukanlah kerusuhan biasa. Menilik kerugian material dan korban jiwa yang amat besar---secara teoritis, pastilah kerusuhan politik (political rush) yang ada di dalamnya penuh dengan rekayasa. Namun, sebelum sampai pada kesimpulan ini, beberapa gambaran obyektif tentang hubungan Islam dan Kristen di sana perlu dikaji lebih dulu.
Masyarakat Ambon sudah lama terintegrasi dengan sistem politik Belanda, ketika VOC datang mengeksploitasi rempah-rempah di sana dan memperkenalkan agama Kristen. Sejak itu, beribu-ribu orang Ambon Kristen meninggalkan kampung halaman untuk bekerja di dinas militer maupun sipil Belanda di seluruh Nusantara. Mereka dipakai sebagai serdadu (marsose) kolonial menguasai dalam wilayah-wilayah Nusantara yang belum tertaklukkan. Pengalaman penyerbuan Belanda ke Aceh pada 1873 adalah bagian dari pengalaman orang-orang Ambon yang terkooptasi ini. Pengalaman ini mengubah suasana keterjajahan Ambon Kristen dari 'orang yang dieksploitasi habis-habisan di bawah monopoli rempah-rempah.' Secara ideologis, akibat kedudukan 'istimewa' ini, banyak orang Kristen merasa mempunyai hubungan khusus dengan Belanda, karena mempunyai kesamaan agama maupun tugas, teristimewa kemiliteran, dalam membawa damai bagi Nusantara (Richard Chauvel, dalamAudrey Kahin, 1985: hal.244).
Berbeda dengan saudaranya yang Kristen, orang-orang Ambon Islam tak ikut serta dalam usaha-usaha kolonial. Selain karena para penguasa militer Belanda tidak merekrut mereka, pihak Islam sendiri beranggapan, memasuki pendidikan atau dinas Belanda sama saja artinya dengan masuk agama Kristen. Maka, sampai dasawarsa 1920-an di desa-desa Islam tidak ada fasilitas pendidikan. Tapi, bukan berarti mereka tidak terpengaruh oleh pelbagai perubahan. Penghapusan monopoli cengkeh, bersama-sama dengan perbaikan komunikasi, merekat kembali hubungan antara Ambon Islam dengan rekan-rekan seagama mereka di tempat lain. Mereka bertemu dengan dunia luar bukan sebagai budak kekuatan kolonial seperti yang dialami Ambon Kristen, melainkan sebagai pelaut, pedagang atau haji (Chauvel, "Ambon" dalam Review of Indonesia and Malayan Affairs14,1, 1980: hal.53-67).
Adanya hubungan dengan dunia Muslim menimbulkan cita-cita baru di Ambon---umumnya adalah cita-cita Pan-Islamisme---untuk menjadikan Ambon sebagai wilayah Mulki sehingga nama Ambon diperkenalkan sebagai 'Maluku', yang diharapkan akan menjadi wilayah integrasi Islam dari Malaka hingga Maluku. Kelak, cita-cita ini menghasilkan perubahan-perubahan penting, baik dalam kepercayaan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Belanda pun menanamkan konflik ideologis ini demi memudahkan proses pasifikasi dan domestikasi pribumi Ambon. Keberhasilan proses pasifikasi ini adalah jumlah Ambon Kristen mencapai 65% pada tahun 1940-an.
Jadi, pengalaman orang Ambon Kristen berbeda sekali dengan pengalaman orang Ambon Islam pada zaman akhir kolonial. Identifikasi orang-orang Kristen dengan orang Belanda itu bertentangan dengan kecurigaan dan keterlibatan orang-orang Islam dalam struktur kekuasaan kolonial. Orang-orang Kristen, dengan bantuan dan pendidikan Belanda, mendominasi masyarakat Ambon sedemikian rupa, sehingga banyak orang non-Ambon menyangka orang Ambon itu daerah Kristen semata-mata (Chauvel, Ibid: hal.224).
Maka, wajar jika masyarakat Ambon kemudian menganggap Belanda bukan sebagai representasi kekuatan penjajah. Hal inilah yang mengakibatkan Proklamasi Soekarno-Hatta tahun 1945, menurut Chauvel, tak banyak mendapat sambutan di sana. Apalagi perlawanan terhadap kembalinya pemerintahan kolonial. Maka, tidak terlalu salah jika pembagian Ambon yang paling kentara, yaitu Islam dan Kristen, secara politik menjadi semakin penting. Konflik Islam dan Kristen senantiasa potensial dalam politik detente yang laten sifatnya.
Pada 24 April 1950, Dr.Soumokil memproklamasikan Republik Maluku Selatan (RMS) yang melakukan aksi politiknya secara kekerasan, baik di wilayah Indonesia maupun di Belanda. Penindasannya mungkin merupakan jalan pemecahan yang terburuk untuk memasukkan Ambon ke dalam Indonesia yang merdeka. Maka, sesuai dengan pengamatan FL Cooley (1968), masyarakat Ambon pasca revolusi nasional muncul dengan terpecah belah. Warganya bertempur, baik di RI maupun RMS, dalam pertikaian yang mempunyai banyak sifat perang saudara. Hubungan masyarakat Islam dan Kristen yang tadinya sudah tegang diperkuat oleh kenyataan bahwa para pemimpin sipil RMS berikut serdadunya semuanya beragama Kristen. Sementara korban para serdadu RMS itu kebanyakan orang Islam. Ketakutan ini beralasan jika dilihat semakin membiaknya jumlah orang Islam di Maluku yang dicatat Coolry (1968: hal.297) telah mencapai 49% di awal Orba yang tadinya hanya sepertiga saja jumlahnya. Perkembangan ini dianggap sebagai ancaman dominasi Kristen di sana.
Jadi, RMS sebetulnya merupakan suatu usaha untuk mempertahankan dominasi Kristen dalam masyarakat Ambon. Desas-desus yang disebarkan Soumokil seolah-olah ada paksaan untuk masuk Islam mencemaskan orang Kristen, bahwa mereka akan tenggelam di tengah-tengah mayoritas Indonesia yang Islam. Sehingga RMS haruslah dilihat sebagai 'ketakutan terhadap munculnya kekuasaan nasional Islam' yang disangka akan mencengkeram masyarakat Nasrani di sana. Bagaimanapun, pemulihan kedaulatan Indonesia berarti hilangnya 'hubungan khusus' yang sudah lama dinikmati orang-orang Ambon Kristen dengan pemerintah (kolonial).
RMS reda setelah para elit politiknya menyadari bahwa Orba ternyata sangat membenci kalangan Islam dan memberikan banyak keuntungan bagi pihak non-muslim. Secara psikologis keterancaman orang-orang Maluku Kristen kembali dirasakan ketika Habibie naik ke pentas politik nasional yang dianggap sebagai representasi kekuatan Islam Sulawesi yang telah lama mereka hiraukan. Di sisi lain, ketegangan-ketegangan yang ditimbulkan oleh RMS dan meningkatnya persaingan kemudian, tidak menghasilkan hubungan-hubungan kecurigaan kompleks.
Sikap orang Ambon kepada RI sangat terpengaruh oleh pengalaman marsose Ambon pada awal revolusi yang karena tingkah laku mereka sendiri kerap menjadi sasaran serangan dan pembalasan dendam. Kendati tidak pernah ada orang Ambon yang pulang secara besar-besaran dari Jawa dan Sulawesi, namun pengaruh psikologis dan pengalaman di daerah-daerah tadi itu terhadap pemikiran politik di Ambon jauh lebih besar ketimbang angka-angka yang sebenarnya. Mereka menetap di Jakarta sebagai enclave tersendiri yang secara formal kemudian menjadi kekuatan rasional pembangun bangsa. Namun kelompok enclave informal, yang tidak terserap dalam institusi militer formal, kemudian menjadi kekuatan-kekuatan preman irrasional yang bermunculan.
Kenyataan inilah yang membuat kita sulit menolak penilaian Abdurrahman Wahid bahwa kerusuhan di Maluku adalah suatu kesenjangan atau rekayasa politik dimana preman-preman Jakarta sebagai kekuatan politik informal telah memainkan peranannya yang destruktif di Maluku. Mungkin kita bisa membaca pernyataan Soeharto ketika akan lengser yang meyiratkan 'ancaman' akan adanya disintegrasi bangsa atau perang saudara. Ancaman ini diwujudkan dalam politik rekayasa kerusuhan yang akhir-akhir ini melanda Indonesia untuk mengalihkan perhatian dan tuntutan rakyat supaya diadilinya Soeharto beserta kroni-kroninya. Dan, termasuk kroninya adalah Yoris Raweyai yang problematis dan dianggap sebagai kekuatan politik informal (yang menguasai jaringan preman seluruh Indonesia) yang bermain di belakang semua rekayasa kerusuhan politik di Indonesia. Soeharto adalah politisi yang sangat mahir dalam membangkitkan kekuatan-kekuatan konflik laten menjadi manifes dalam serangkaian kejadian yang telah dan akan menghacurkan keutuhan Indonesia sebagai sebuah bangsa.
No comments:
Post a Comment
Jangan Lupa Berilah Komentar!!
Trimakasih atas kunjungannnya.