Translate This

->

Monday, April 16, 2012

Kalimaat KH. Dr. Abdullah Syukri Zarkasyi di Malaysia


dalah sebuah kesyukuran dan kebahagiaan tersendiri dapat berjumpa dengan ayahanda kita tercinta KH. Dr. Abdullah Syukri Zarkasyi. Dengan berbagai jadwal dan program yang sudah dirancang oleh kerajaan Malaysia dalam pemberian tanda jasa penghormatan kepramukaan kepada beliau tapi masih sempat untuk berkumpul dan memberikan akhbar pondok serta wejangan dan nasehat kepada kami yang masih belajar di negeri jiran ini.
Ada beberapa point penting yang beliau sampaikan dalam pertemuan tadi malam. Sebelum perjalanan ke Kuala Lumpur, beliau menghadiri walimah ke-2 alumni gontor yang sedang di amanahi menjadi ketua umum Muhammadiyah di Indonesia, Ust. Din Syamsuddin. Beliau pun diminta untuk memberikan nasehat dalam walimah itu. Pesan yang dapat kita ambil adalah bahwa sebuah pernikahan bukanlah merupakan tujuan hidup tapi sarana untuk bisa menjalani hidup yang penuh perjuangan ini. Jika pernikahan menjadi sebuah tujuan maka tidak ada bedanya manusia dengan burung, dimana hanya bisa membuat rumah, mendapat pasangan dan mencari makan. Hidup adalah perjuangan, dan istri adalah sosok pendamping untuk bisa bersama-sama ikut berjuang. Oleh karena itu, seorang yang ingin berjuang harus mempersiapkan diri dan bekal. Alumni gontor yang sudah mendapatkan bekal kunci kehidupan ini perlu untuk terus melatih dan mengasah diri  ketika dia sudah berada diluar pondok. Oleh karena itu, jika ada alumni yang mengatakan kalau pondok itu tidak ada apa-apanya maka itu berarti dia tidak mencari apa-apa dan tidak berbuat apa-apa sehingga dia membuat hipotesa bahwa pondok tidak ada apa-apanya. In ahsantum ahsantum li anfusikum, wa in asaktum falaha….
Kembali lagi ketika ada pertanyaan salah satu dari simpatisan gontor yang ingin memasukkan adiknya ke gontor bertanya, bagaimana cara memahamkan ke orang tua agar bisa menyekolahkan adiknya ke sana, terutama Ibu?. Beliau pun menjawab, ajak orang tua datang menginjakkan kaki di gontor, Insya Allah kesetrum atau kenalkan ke orang tua dengan alumni yang sudah pernah belajar disana agar bisa mendapatkan informasi yang cukup. Sebenarnya, tidak cukup informasi sepihak dan berita tertulis untuk memahamkan nilai dan sistim pendidikan pondok karena ruh pendidikan itu ada di gontor dan para alumni yang pernah mengenyam pendidikan disana. Pondok yang kegiatannya tak pernah statis, aktivitas yang terus menerus akan membentuk mental dan karakter santri-santrinya. Lembaga pendidikan bukan hanya pengajaran akademis saja, tapi disana ada penugasan dan pelatihan yang secara otomatis akan membentuk karakter dan mental serta totalitas kehidupan secara keseluruhan dari bangun tidur sampai tidur kembali. Oleh karena itu, sangat perlu untuk mendapatkan setruman dengan mendatangi, mendengar dan melihat aktivitas pendidikan disana.
Kemudian, pertanyaan datang juga dari wali santri yang menyekolahkan anaknya di gontor mengatakan tentang kebersihan dan makanan disana masih sangat kurang. Lembaga pendidikan yang full aktifitas 24 jam, berada didalam satu area tanah 12 hektar di penuhi oleh 4.600 santri dan asatidz ditambah dengan masyarakat disekitar pondok mengikuti dan menjalani setiap aktivitasnya merupakan sebuah kosmo kehidupan pendidikan yang luar biasa. Dimana tak hanya pengajaran yang berikan tapi pendidikan mental juga diterapkan. Oleh karena itu, setiap yang ada didalamnya mempunyai tanggungjawab masing-masing dalam kebersihan meskipun kadang itu tidak sepenuhnya maksimal karena penuhnya kegiatan yang berjalan didalamnya. Setiap pagi, siang dan petang sudah ada penanggungjawab kebersihannya dari setiap rayon/asrama, tapi kotoran tetap saja kotoran. Berkaitan dengan makanan, beliau menjelaskan secara logis bahwa iuran makan setiap bulan adalah Rp. 190.000. Sebenarnya itu sudah murah. Jika kita bagi menjadi 30 hari (1 bulan) maka setiap hari kira-kira seorang santri mengeluarkan uang makannya Rp. 6.300, jika kita bagi lagi dalam 3 kali makan sehari (makan pagi, siang dan malam) maka setiap kali makan seorang santri mengeluarkan hanya Rp. 2.100. Dimana bisa dapat makan sekali dengan harga Rp. 2.100 dengan lauk yang cukup seperti digontor?? belum lagi pembayaran uang makan santri yang terlambat bayar terutama santri kelas 6. Lauk dengan sayur yang pedas itu bagi santri sudah sangat enak dan cukup meskipun mereka juga diberi lauk spesial disetiap hari jum’at. Kalau ingin lebih enak makannya, santri-satri bisa membeli lauk sendiri dikantin untuk tambahan. Juga terlontar harapan dari wali santri ini yang menginginkan kedua anak putranya kalau bisa tidak dipisah pondoknya (yang satu digontor 1 dan yang satunya lagi di gontor 3, kediri) karena terlalu jauh untuk bisa berjumpa. Dengan sangat bijak, Ust. Syukri menjawab, bisa saja kami pindahkan ke gontor 1 tapi kalau nilainya bagus. Jika seandainya nilainya tak cukup bagus lagi, nanti juga akan kembali lagi ke gontor 3.
Ada juga, seorang wali santri Malaysia yang lain memberikan usulan kalau bisa para pelajar Malaysia tidak dengan mudah masuk ke gontor 1 langsung karena mereka perlu beradaptasi dalam banyak hal, baik kultur, materi pelajaran dan kegiatan-kegiatan yang berjalan dipondok. Sebaiknya di gembleng dulu di gontor 2 dan usulan ini disetujui oleh Ust. Syukri. Yang lain lagi, wali santri ini juga mengusulkan agar bisnis kambing dibuat digontor karena prospek masa depannya cerah. Usulan ini ditampung oleh pimpinan pondok tapi hakekatnya bisnis yang dijalani di gontor adalah berkaitan dengan santri yang ada didalamnya, seperti percetakan Darussalam Press, Mini Market dsb, walaupun gontor juga sebenarnya mempunyai lahan tanah, hutan dan juga kelapa sawit, sebagai bekal untuk masa depan pondok kedepan.
Pertanyaan berikutnya dilontarkan oleh salah satu alumni gontor yang sudah menjadi dosen disalah satu kampus terkenal di Malaysia bertanya, Apakah ISID dapat membuat kurikulum sendiri seperti KMI yang bisa independen dan standard dengan universitas yang ada di Madinah dan Mesir? karena ISID sebentar lagi akan menjadi Universitas yang diperhitungkan, kalau pun tidak bisa, apa kira-kira kendala yang dihadapi?. Untuk mendirikan Universitas memang memerlukan standar, baik itu kurikulum maupun tenaga pengajar yang sudah professor dan doktor yang banyak, terlebih lagi di Fak. Umum. Menurut Ust. Syukri, beliau tidak merasa ada kesulitan dalam pengrekrutan professor dan doktor karena dapat diambil dari luar atau dari alumni gontor sendiri. Sebuah analogi pun diberikan oleh beliau bahwa ISID jangan sampai seperti Al-Azhar. Harus berhati-hati mendirikan sebuah Universitas. Melihat kejadian di Al-Azhar ketika membuka jurusan umum, jumlah mahasiswa dari mesir sendiri yang ingin belajar ke fakultas Ushuluddin bisa dihitung alias sedikit yang berminat, semua berhijroh ke jurusan umum sehingga sedikit sekali yang ingin mendalami ilmu agama, seperti Ushuluddin. Keadaan yang sama terjadi juga di UIN yang ada di Indonesia. Kita tidak ingin hal ini terjadi di ISID, tegas beliau. Adapun kurikulum ISID yang sudah ikut standar dengan perguruan tinggi di Indonesia masih bisa ditambah oleh dosen kita sendiri memakai kurikulum yang berstandar Madinah atau Mesir sehingga ISID tidak kalah kwalitasnya dengan mahasiswa yang ada diluar negeri.
Kemudian, salah satu dari istri alumni gontor pun ikut memberikan kesan tentang sepak terjang para alumni gontor yang solid diberbagai lini kehidupan, agama dan negara. Kalau saja para alumni gontor yang berpotensi ini dapat meningkatkan dirinya lagi dari sisi spiritual akan lebih dasyat lagi, sebuah peradaban akan terjadi di Indonesia. Sayangnya, ada beberapa alumni gontor yang terlihat masih kurang dari segi spiritualnya. Ust. Syukri pun bercerita, ketika dulu pernah membuat klub tahajjud bersama. Dari klub ini kita sisipkan untuk berdo’a agar pondok ini berjalan terus dan dimudahkan perkara-perkaranya oleh Allah SWT. Ternyata, para pengikut klub ini banyak yang menjadi orang hebat, itu karena do’a mereka yang tulus kepada pondok, Innallah la yukhliful mi’aad. Sebenarnya banyak santri-santri gontor yang tidak secara kasat mata menjalankan puasa senin kamis bahkan puasa daud dipondok atau sudah keluar pondok. Kembali lagi bahwa kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT meskipun pondok sudah berusaha keras untuk menjadikan santri-santri menjadi lebih baik, baik itu mental, karakter bahkan spritualnya, semua terpulang kepada mereka lagi untuk meneruskannya. Hanya pertanyaan disini bagaimana bentuk spritual itu dijalankan mereka?, Sebagian ada yg mengatakan spiritual itu dengan sholat, tahajjud dsb, ada juga sebagian juga mengatakan berbuat baik itu juga termasuk dari nilai spiritual itu tersendiri.
Dalam memaksimalkan penerapan nilai dan sistim pondok kepada guru-guru di gontor, Pimpinan pondok sudah banyak melakukan langkah-langkah pendekatan persuasif kepada seluruh guru-guru. Setiap hari dipanggil oleh pimpinan pondok dan diberikan pengertian dan penugasan khusus. Dari 115 orang yang dipanggil, yang aktif kadang 90 orang. Dari 90 orang yang aktif mendengarkan, kira-kira “yang jadi” 40 orang. Maka, sebenarnya 40 orang inilah yang sebenarnya benar-benar “All Out” membantu pondok karena ada atau tidak ada pimpinan di pondok, merekalah yang sungguh-sungguh menjalankan nilai dan sistim pondok ini dengan baik dan ikhlash.
Begitulah, banyak hal-hal yang kita dapati dan kita rasakan di pondok sehingga menjadi filsafat hidup bagi setiap yang menjalaninya. Kebersamaannya terasa….nilainya terasa….bahkan ruhnya pun terasa…
Mudah-mudahan Allah selalu memberikan kemudahan dalam setiap permasalahan pondok dan  juga kesehatan kepada semua pimpinan pondok dalam menjalani amanah ummat ini…Rabbuna yusahhil…Amin
Segambut, Ahad13 Maret 2011
Dari ananda,
Fejri Gasman.

No comments:

Post a Comment

Jangan Lupa Berilah Komentar!!
Trimakasih atas kunjungannnya.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...