Wednesday, January 25, 2012
Sentilan Bagi Pengusung Pluralisme Agama
Ada sebagian kalangan bahkan banyak yang mengatakan bahwa sebab pokok konflik-konflik yang terjadi
adalah agama, seperti konflik Palestina dengan Israil, Bosnia dengan Serbia, tragedi Poso antara
orang Islam dengan Kristen, dan lain sebagainya. Atas dasar asumsi tersebut, kata Anis Malik Toha,
dosen perbandingan agama di ISTAC Malaysia dalam bukunya Tren-Tren Plulalisme Agama:Studi Kritis,
para ahli perbandingan agama meneliti kembali agama-agama kemudian menyimpulkan bahwa semua agama sama.
Kesimpulan itulah yang akhirnya diakui dan dijadikan rujukan oleh banyak kalangan, padahal
kesimpulan tersebut salah, karena telah terjadi pengkebirian reduksionistik tentang agama.
Toha menambahkan dalam buku yang sama, pernyataan semua agama sama kemudian dikembangkan oleh
W.C. Smith dan John Hick yang keduanya menyebutnya dengan “teori global” inti dari teori ini
adalah semua agama sama, semuanya dapat dijadikan sebagai jalan untuk menuju keselamatan,
perbedaaannya adalah hanya dari segi cara. Untuk mengembangkan tesis tersebut, W.C. Smith
menganjurkan keharusan “tranformasi orientasi dari pemusatan agama menuju pemusatan iman dan
himpunan tradisi”. Sedangkan John Hick menganjurkan keharusan “tranformasi orientasi dari
pemusatan agama menuju pemusatan Tuhan”. Dari keduanya, terutama John Hick, teori
pluralisme agama tersebar ke banyak negara atau bangsa, termasuk Indonesia.
Di Indonesia paham ini banyak disebarluaskan oleh orang-orang yang mengaku ingin memperbaharui
pemahaman ajaran agama, karena ajaran yang selama ini diajarkan sudah tidak relevan lagi dengan
tuntutan global atau zaman sekarang, kata mereka. Tapi apakah Indonesia yang penduduknya
mayoritas islam mau menerima paham tersebut? MUI (Majlis Ulama Indonesia) sebagai lembaga
keagamaan yang punya otoritas untuk menolak atau menerima paham ini telah mengeluarkan fatwa
haram terhadap paham pluralisme agama. Dengan kata lain, MUI menolaknya.
Mereka yang menyebarkan paham ini sering menggunakan surat al-Baqoroh ayat 62 dan
69 sebagai alat legitimasi bahwa al-Quran mengakui dan menerima pluralisme agama.
Kata Dr. Syamsudin Arif dalam bukunya Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran hal 153,
2008 mereka telah melakukan mis interpretasi ayat tersebut, seharusnya mereka sebelum
menafsirkan ayat tersebut melihat atau tidak mengabaikan kontek siyaq, sibaq serta lihaq,
karena tidak melihat tiga kontek tersebut maka pada akhirnya kesimpulan mereka adalah
pemeluk agama selain islam akan mendapatkan pahala atau surga dari Allah, yang paling
penting mereka melakukan perbuatan yang baik (amal sholeh). Lebih lanjut lagi setelah
memapaparkan 15 ulama tafsir tentang ayat tersebut beliau menyimpulkan bahwa ulama tafsir dari kalangan salaf dan kholaf sepakat: (1) ayat 62 surat al-Baqoroh turun berkenaan setelah para sahabat salman
al-farisi yang belum masuk islam; (2) orang-orang yang munafiq dari kalangan kaum Muslimin,
Yahudi maupun Nashroni adalah Kuffar, tidak beriman; (3) keselamatan, kedamian, dan kebahagian
akhirat hanya dapat diraih melalui iman sejati dan amal sholeh sesuai dengan petunjuk Rasullah,
Muhammad SAW.
Lebih transfran dari Dr. Syamsudin Arif, Prof. Kh. Ali Yaqub dalam bukunya,
Haji Pengabdi Syetan menyatakan bahwa paham yang menyatakan bahwa semua agama sama,
semuanya dapat dijadikan sebagai jalan untuk mendapatkan keselamatan adalah pemikiran sesat,
yang tidak sesuai dengan Islam. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa para pengusung paham ini
telah melupakan atau mungkin sengaja melupakan ayat-ayat selain ayat tersebut, hadits-hadist
Rasul dan sejarah yang mana menunjukan bahwa Rasul SAW telah mengajak para penguasa arab yang
bukan beragama islam untuk masuk islam, seandainya Rasul menganut paham pluralisme agama,
buat apa Rasul capek-capek mengajak para penguasa tersebut untuk masuk islam. Jadi jelaslah
bahwa paham pluralisme agama bertentangan dengan islam.
Tidak hanya ayat 62 dan 69 surat al-Baqoroh yang jadikan mereka sebagai alat legitimasi
plurlaisme agama, para pengusung teori ini juga menjadikan Ibnu Arobi dari tokoh islam
yang kata mereka sebagai legitimator pluralisme agama dalam islam. Apakah benar perkataan
tersebut? Maka marilah sedikit kita telusuri untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Dr. Syamsudin Arif dalam bukunya yang sama mengatakan, memang sejak beberapa dasawarsa terakhir
tokoh yang telah menulis lebih dari 400 karya ini (Ibnu ‘Arobi) telah dijadikan sebagian ikon
pluralisme agama oleh sebagian tokoh untuk membenarkan filsafat Perennial atau al-Hikmah
al-kholidah yang dipopulerkan oleh Fritjof Schoun, Seyyed Husein Nashir dan Wiliam. C. Chittick.
Mungkin untuk mengetahui bahwa Ibnu A’robi bukanlah seperti apa yang katakan oleh para pengusung
pluralisme agama maka disini kita memaparkan pandangan beliau tentang islam, syariat dan orang
Yahudi dan Nashroni.
Tentang islam, Sani Badron dalam majalah Islamia No.3 2004 mengatakan Ibnu Arobi bukanlah apa
yang katakan oleh para pengusung pluralisme agama. Ibnu a’robi meyakini bahwa hanya Islam
agama yang sempurna dan agama yang lain tidak. Kesempuranaan merujuk kepada kesempurnaan nash-nash
atau teks agama. Beliau menegaskan firman Allah “pada hari ini telah kusempurnakan untukmu agamu”
sebagai satu ketetapan mengenai kesempurnaan agama islam yang tidak perlu penambabahan.
Mengenai syariat, Toha dalam bukunya Tren-Tren Plulalisme Agama:Studi Kritis 2005:246
bahwa Ibnu Arobi dalam kitabnya Al-Futuhat al-Makaiyyah mengatakan:
“Syariat-syariat semuanya adalah cahaya dan Syariat Muhammad SAW diantara cahaya-cahaya
ini ibarat, seperti cahaya matahari diantara cahaya-cahaya bintang-bintang. Ketika cahaya
matahari muncul maka reduplah cahaya-cahaya bintang-bintang tersebut dan terserap kedalam
cahaya matahari. Maka sirnanya cahaya-cahaya tersebut ibarat dihapusnya syariat-syariat
tersebut oleh syariat Nabi Muhammmad. Dengan tetap eksisnya hakikat syarit-syariat tersebut
sebagaimana eksisnya cahaya bintang-bintang. Oleh karena itu diwajibkan mengimani semua rasul.
Dan semua syariat mereka adalah benar dan tidak dinaskh (dihapus) karena batal atau salah
sebagaimana diduga orang–orang bodoh. Maka semua jalan (syariat) mengacu pada jalan atau
Syariat Nabi Muhammad SAW. Seandainya para rasul hidup pada zaman Nabi Muhamad niscaya
mereka akan mengikutinya sebagaimana syariat mereka mengikuti syariatnya.
Sedangkan mengenai orang Yahudi dan Nashroni, Dr. Syamsudin Arif dalam bukunya yang sama
meruju langsung kepada Al-Futuhat al-Makiyyah mengatakan “menurut Ibnu A’robi, orang Yahudi
dan Nashroni yang masuk islam tidak dikatakan murtad, karena ajaran agama murni mereka
memang mengharuskan beriman kepada Nabi Muhammad SAW dan mengikuti syariatnya. Pengikut
Nabi Isa yang murni dan sejati tidak hanya mengimani kenabian Muhamamad SAW tetapi juga
beribadah menurut Syariat Islam. Tentang Nabi Musa, beliau menegaskan dengan sabda Rasul SAW
“seandainya Nabi Musa hidup saat ini, maka beliau pun tidak dapat tidak, harus mengikutiku.
” Jelas dari penjelalasan ini menurut Ibnu Arobi orang-orang Yahudi dan Nashroni harus mengimani
Rasul SAW dan mengikuti syariatnya, dengan kata lain mereka harus masuk islam, jika ingin mendapat
keselamatan.”
Dari penjelasan diatas, jelaslah bahwa Ibnu Arobi bukanlah apa yang dikatakan oleh para pengusung
pluralisme agama, dia bukanlah tokoh yang mengakui bahwa semua agama sama, semua dapat dapat menjadi
jalan keselamatan, baginya hanya islam jalan keselamatan.
2. Konsekuensi Logis Pluralisme Agama
Adiain Husaini, dalam bukunya Pluralisme Agama:Haram (Fatwa MUI. Kontro versi, dan Penjelasannya)
menyebutkan konsekuensi logis dari paham pluralisme agama adalah penyerangan terhadap al-Quran
dan Syariah Islam. Dia mengatakan pada hal 41 konsekuensi logis dari paham pluaralisme agama adalah
pandangan yang relatif terhadap kebenaran al-Quran. Sebab, kaum pluralis melihat keyakinan ummat
Islam yang mutlak terhadap kebenaran dan kesucian al-Quran merupakan sumber pemahaman yang ekslusif,
seolah-olah hanya islamlah dan kitab sucinya saja yang benar. Pada hal 46 dia menambahkan setelah
kesucian Aqidah Islam tentang kebenaran al-Quran diobrak-abrik maka konsekuensi logis paham ini
ialah mendekonstruksi Syariat Islam yang sudah mapan ratusan tahun.
Dalam buku Tren-Tren Pluralisme Agama:Studi Kritis karangan Dr. Anis Malik Toha disebutkan implikasi
dan konsekuensi logis dari paham pluralisme agama salah satunya adalah ancaman terhadap HAM
(Hak Asasi Manusuia). Dalam buku ini yang dimaksud dengan ancaman terhadap adalah tidak bebasnya
pemeluk agama untuk mewujudkan atau mengekspresikan jati dirinya secara utuh dalam melaksanakan
ajaran agama yanf diyakinninya. Toha mengatakan
“fakta emperis menunjukan bahwa para pemeluk agama yang minoritas yang hidup dalam naungan
sistem pluralistik mengalami perlakuan diskriminatif yang menghalangi kebebasan mereka untuk
mengeksperesikan jati diri keagamaannya, melakukan kewajiban-kewajiban ritual keagamaan, dan
untuk memperoleh hak persamaan di depan undang-undang dan hukum seperti mengenakan jilbab bagi
seoarang muslimah di sekolah-sekolah negri dan tempat-tempat kerja, penyembelihan hewan kurban
untuk kalangan yahudi atau muslim. Jargon kebebasan yang diusung oleh sistem pluralistik liberal
hanyalah sebatas kebebasan berkeyakinan dan beribadah dalam arti sempit, kemudian buat apa arti
sebuah keyakinan atau keimanan tanpa mempraketekkaknya?”
Membaca penejelasan singkat diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa paham pluralisme agama
yang menyatakan semua agama sama sangat berbahaya bagi aqidah ummat islam, karena paham ini
akan mengantarkan ummat islam kepada keraguan terhadap al-Quran dan Syariat Islam.
http://www.pku.isid.gontor.ac.id/index.php/archives/17#comment-1387
oleh Saiful Bahri
diposkan kembali oleh Nur Kholis dab: http://www.islamshout.blogspot.com
Label:
Islam dan Pluralisme
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Jangan Lupa Berilah Komentar!!
Trimakasih atas kunjungannnya.