ni adalah resensi pertama saya yang dimuat oleh Koran Jakarta. Sebenarnya, ini adalah tulisan lama, namun, aku ingin nge-share untuk bisa dipampang di blog ini.. semoga bermanfa'at...
Judul : Opera van Gontor
Penulis : Amroeh Adiwijaya
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 1, Agustus 2010
Tebal : 300 halaman
Harga : Rp50.000
Jika kita sekilas melihat sampul buku ini terlihat seperti judul tayangan di stasiun televisi swasta. Novel karangan Amroeh Adiwijaya ini mengisahkan kehidupan kronik pesantren Gontor.
Di dalamnya tak lepas dari candaan yang sudah mentradisi. Novel pengalaman menyantri di Gontor ini merupakan potret atau kondisi pondok Gontor pada era 70-an.
Pada masa itu, beberapa tokoh bangsa ini dilahirkan dan ditempa untuk berbakti kepada Tanah Air. Judul Opera van Gontor sendiri merupakan rangkaian perubahan dan revisi setelah sebelumnya berjudul Don’t Cry for me Gontor, mengadopsi sebuah lagu dan film Evita Peron.
Buku ini mengisahkan kehidupan pondok pesantren yang penuh suka dan duka. Bagian pertama, Amroeh menceritakan pandangan pertamanya sewaktu mondok di Gontor.
Hal yang terngiang di pikiran tatkala kedatangan pertama di Gontor disambut dengan pelbagai ucapan kehadiran yang menggetarkan. Kalimat yang mampu memompa semangat dan motivasi belajar agar lebih mau berjuang dan bertaruh demi masa depan.
Gontor merupakan pondok pesantren modern yang mengajarkan santri untuk berkomunikasi dengan bahasa asing, Arab dan Inggris. Di sini, Amroeh menjelaskan secara detail bagaimana awal mula memilih untuk melanjutkan studi ke Gontor.
Berkat lobi sang Ayah kepada Dik Muhdi (alumnus Gontor), sekaligus juga hasil lobi dengan Pak H Achwan, Amroeh berhasil mengenyam pendidikan di sana, hal 12. Seperti kebanyakan santri yang baru memasuki jenjang pendidikan, Amroeh juga merasakan halnya yang sama. Pikirannya berkecamuk antara suka, takut, dan sedih. Karena hidup jauh dari orang tua merupakan hal yang menyedihkan, apalagi ketika itu Amroeh masih berusia 11 tahun. Namun, berkat kesungguhan dan keyakinan ia mampu mengatasi semuanya.
Ia meramu semua itu jadi “jamu kehidupan” yang dapat menyehatkan kembali semangat yang memudar. Ada pengalaman yang tak bisa dilupakan Amroeh. Ia membeberkan sisi keunikan pondok saat itu.
Mandi di pondok tidak memakai gayung, melainkan dengan pancuran yang memancar dari lobang air yang sudah tersedia di kamar mandi. Yang menggelikan lagi, ada satu kamar mandi dipakai dua atau tiga anak sekaligus, dan mereka telanjang tanpa busana.
Pemandangan yang demikian sudah dianggap biasa dan wajar di kalangan pesantren pada waktu itu. Sehingga pengalaman itu terus terngiang di benak Amroeh sampai sekarang.
Tanpa disadari, hal ini merupakan kejadian yang kocak sekaligus lucu di dunia pesantren. Bagian kedua, Amroeh menceritakan fase kehidupan Gontor dengan cerita unik.
Contohnya pada 1967 dunia politik sedang mengalami situasi yang sulit. Gontor disusupi kepentingan politik praktis. Akan tetapi, hal itu dapat dihindari dengan mensterilkan unsur-unsur politik dalam pondok.Salah satu langkah yang ditempuh yaitu dengan mengganti nama organisasi PII (Pelajar Islam Indonesia) menjadi OPPM (Organisasi Pelajar Pondok Modern).
Bagian ketiga, Amroeh lebih panjang lebar memperbincangkan pengalaman pribadinya setelah sekian tahun hidup di “penjara suci”, yaitu sewaktu ia bersama almukarrom (sebutan kiai) menjadi ustaz dan menjajaki aktivis masjid. Novel ini layaknya sebuah catatan pribadi seorang Amroeh kecil.
Ia mencoba mengulas kembali kenangan lama sewaktu menyantri di Gontor. Dan novel kronik ini ditulis dengan bahasa yang mudah dan menggelitik untuk dibaca. Karena Amroeh memotret gontor pada era 70-an.
Sayangnya, novel ini sedikit membingungkan pembaca, dengan penempatan catatan kaki di belakang. Akan tetapi novel ini layak dijadikan sebagai koleksi novel edisi pesantren yang ditulis oleh seorang santri tulen produk Gontor.
Peresensi adalah Muhammad Autad An Nasher, Penikmat Buku dan Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang,
dilansir dari Koran jakarta pada tanggal 7 Oktober 2010.
bisa di akses di: http://issuu.com/koran_jakarta/docs/edisi_824_-_7_oktober_2010
http://autadfoundation.blogspot.com/2012/02/gontor-dan-setting-novel-pesantren.html
No comments:
Post a Comment
Jangan Lupa Berilah Komentar!!
Trimakasih atas kunjungannnya.