Translate This

->

Wednesday, June 20, 2012

Gontor,shaolin dan trimurti

KALAU umat Islam ingat Pondok Modern Gontor -- yang kini memasuki delapan windu usianya -- sebaiknya mereka berterima kasih kepada Departemen Agama, serta "mensyukuri" bahwa dusun lokasi pesantren masyhur itu dulu merupakan nggon kotor. Nggon itu tempat. Nggontor itu tempat maksiat kronis, malima, judi, zinah, maling, dan sebagainya, yang di zaman modern ini menjadi pemandangan jamak. Kekotoran kehidupan masyarakat di wilayah selatan Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, itu merupakan setting kultural yang memompa "dendam yang baik" sehingga pendirian dan penumbuhan Pesantren Gontor dimotori dengan cita-cita yang seluhur-luhurnya serta dengan "stamina sejarah" yang setinggi-tingginya. Sang Trimurti -- demikian K.H. Ahmad Sahal, K.H. Zainudin Fanani, dan K.H. Imam Zarkasyi, the founding fathers pesantren ini menyebut diri mereka -- boleh dibilang dengan tekun dan sabar menyelenggarakan suatu transformasi sejarah minadlulumati ilannur, dari kegelapan menuju cahaya. Pada segi fisik saja pun, jika Anda melihatnya dari helikopter, pesantren Gontor adalah mercu suar yang terang-benderang di tengah rerimbunan dusun-dusun yang di balik gerumbul-gerumbulnya -- dulu -- Anda boleh mengintip kemaksiatan. Bangunan-bangunan modern, cahaya memancar jauh sebelum ada proyek Listrik Masuk Desa, tampak berkeliaran santri-santri aneh yang berbahasa Inggris dan Arab setiap saat -- juga tatkala mengigau atau menjadi tiffosi sepak bola, berkumandang tilawah Quran dan puisi Abu Nawas yang nakal, gegap-gempita tepuk tangan ribuan santri mendengar para orator remaja, atau terompet melengking-lengking dan bel-bel berdentang menandai pergantian aktivitas-aktivitas 18 jam sehari nonstop. Sebuah camp yang ketat, padepokan "Shaolin" dengan "disiplin gila" yang menggelinding total sistemik. Di awal dan akhir semesteran, sang Kiai berpidato 56 jam nonstop hanya dengan diselingi salat dan makan. Disusul tengko, teng komando: saat para pemuka santri di kamar-kamar pemondok memaparkan juklak dan juknis secara lisan. Tak ada peraturan tertulis. Peraturan harus diproses menjadi bagian dari kualitas kesadaran, pikiran, dan naluri. Ini pesantren tak NU tak Muhammadiyah. Para santri digodok dalam atmosfer untuk tumbuh menjadi "perekat umat". Untuk tidak menawar-nawar akidah tapi toleran dalam khilafiah hukum dan aliran. Santri tidak mencium tangan siapa pun, iklim budaya mereka egaliter dan universal. Penghormatan tidak kepada atasan -- dalam konteks hierarki feodalisme -- melainkan kepada kesalehan, ilmu, dan perjanjian fungsi. Dalam permainan sepak bola melawan para ustad, bola tidak harus selalu disodorkan ke kaki ustad seperti harus mendidik bola tenis agar tahu dan mendatangi di mana Pak Bupati berdiri. Kalau ada oknum guru yang suka ngecing, "boleh"lah sedikit "balas dendam" di lapangan dengan melakukan sliding tackle yang agak nakal. Di tengah itu semua, para santri punya hak suara untuk menggagas siapa terbaik menjadi kiai, Direktur Akademis supervisor muhadarah (latih dan lomba ekspresi), atau Qismul Amn, Departemen Keamanan. Para trimurti almarhum, terutama si bungsu Imam Zarkasyi yang buku tentangnya sedang dipersiapkan, adalah "oknum-oknum" yang tidak terutama mengader "oknum penerus", melainkan mewariskan sistem. Tidak berarti bahwa pesantren sudah tak butuh figur kiai. Juga pergeseran dari kepemimpinan personal ke kepemimpinan sistemik atau impersonal bukanlah bukti modernitas satu-satunya yang benar dan menjamin. Masyarakat pesantren yang termodern pun tetap lapar simbol dan karisma. Sistem "demokrasi kerakyatan" terapan Gontor itu justru untuk merawat agar figur dan karisma kiai yang berperan, tetap atau bisa tampil obyektif dan rasional tanpa kehilangan "magi"nya. Pesantren Pabelan, Jawa Tengah, pada tahap sekarang gagal melakukan transformasi semacam itu, sehingga sang Kiai, yang semula "berkeliaran" di luar pondok, sekarang kembali jadi "oknum", menjadi nukleolus pesantren. Barangkali karena Gontor, bapaknya Pabelan, memang sudah lebih tua, sehingga tajribah atau eksperiman kepemimpinan impersonalnya tidak prematur. Kadar gairah pematangan Gontor itu, saya maklumi, bisa sedemikian kental tak hanya karena ng-Gon ko-Tor, tapi juga karena Kiai Zarkasyi "kalah perang" di Departemen Agama tahun 1946. Tanding konsep melawan Drs. Sigit tentang orientasi kurikulum sekolah-sekolah Islam. Konsep Sigit yang gol, dan diterapkan sampai hari ini. Kiai Zarkasyi tidak cenderung mencetak "intelektual Islam" melainkan mendidik kader ulama yang berpengetahuan umum. Umum dalam arti ilmu-ilmu aktual dunia moden. Bagi Zarkasyi, belajar fisika, biologi, atau astronomi bukanlah "non-Islam", sepanjang si pembelajar menyikapinya secara Islam. Di Gontor, berlaku 100% pelajaran Islam, 100% pelajaran umum. Islam dan umum tidak karena materinya, tapi karena perlakuan terhadap materi itu. Karena itu, seorang mikrobiolog adalah juga seorang ulul-albab atau ulama sepanjang ia meletakkan penghayatan dan pemfungsian ilmunya dalam kerangka tauhid. Tauhid? Setiap pemanfaatan ilmu, metode, dan teknologi untuk kesejahteraan murni manusia adalah tauhid atau penyatuan dengan kehendak Allah. Tapi gagasan Zarkasyi tak laku. Anak-anak sekolah Islam dipusatkan pada pelajaran tarih Islam, aqaid, cara berwudu, memperdebatkan bagaimana salat di pesawat Columbia ... segmen-segmen itu saja yang dianggap Islam. Maka, si bungsu Trimurti pulang kampung, bikin camp. "Kami tidak memberimu ilmu, melainkan membekali kalian alat-alat untuk mencari ilmu" -- demikian selalu ditekankannya. Ia tidak memberi "baju", melainkan inisiatif untuk mengubah "kapas" menjadi apa saja. Ia "membuka", bukan "menutup" -- termasuk keterbukaan transformatif dalam mekanisme kehidupan pesantren mereka sendiri. 

"Nikmati tulisan lengkap artikel ini pada versi cetak dan versi digital majalah Tempo" Silahkan hubungi customer service kami untuk berlangganan edisi cetak di 021-5360409 ext 9. Silahkan hubungi Pusat Data Analisa Tempo untuk mendapatkan versi arsip dalam bentuk PDF, di 021-7255624 ext 486

No comments:

Post a Comment

Jangan Lupa Berilah Komentar!!
Trimakasih atas kunjungannnya.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...